Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Kamis, 12 Juni 2014

Kyara, gadis dari masa lalu... (episode terakhir "Titisan dan Cafe")

Vin... aku minta kopinya ya.. sedikit saja. 
Hmm..ya..
Enak ya Vin.. boleh minta dikit lagi?
Kya sayang..bukan ga boleh, dikit dikit lama lama jadi banyak. Trus kalau debarmu kambuh gimana? Ingat, kopi memicu aritmia.
Vino pelit..
Ah, gadisku ini cantik sekali kalau mulai merajuk. Mulutnya cemberut lucu, mata besarnya melotot marah dan pipinya bersemu merah. Lelaki mana yang tahan untuk tidak mengecupnya?
Kupeluk dia, kuhela nafas yang terasa berat. Kuingat cerita seorang lelaki yang kukenal di pulau dewata, saat aku dan Kya sedang berlibur di sana. Lelaki itu Ari namanya. Dia bercerita bahwa dahulu dia pernah punya seorang kekasih bernama Kiara, wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Kyaraku. Namun kekasihnya tidak sungguh-sungguh nyata, dia gadis dari masa lalu. Ari bercerita dengan terperinci, tapi itu tak membuatku percaya. Mana bisa sebuah foto menjelma menjadi manusia. Dan memang aku tak harus percaya akan ceritanya. Karena Kyaraku bukan Kiaranya.  
Sesungguhnya ada rasa takut di hatiku, takut jika sampai kehilangan cintaku itu. Bukan cerita Ari yang membuatku kuatir, tapi sejak peristiwa di tepi telaga itu, ada satu perasaan yang membuatku ragu pada kekasihku. Ragu akan hal yang tidak diceritakan Kyara padaku. Apalagi setelah itu, Kyara sering kali pergi ke telaga sendiri. Bahkan menginap di sana sampai berhari hari. Entah apa gerangan yang membuatnya selalu kembali dan kembali lagi ke sana. Kya tidak mau bercerita.
Yang dikatakannya hanya dia senang karena di sana tenang, hening, hijau dan sejuk.

Mengapa menatapku seperti itu?
Pertanyaan Kya memecah keheningan. Kukecup dia, sambil berbisik
"Aku tak ingin kehilanganmu..."
Kamu tak akan pernah kehilanganku, aku akan selalu ada di hatimu.
Ada perih yang menusuk di hatiku, aku memeluknya erat tapi perasaanku berkata, tak akan lama lagi aku bisa memilikinya seperti ini.
 

**********

Ingin rasanya aku terbang begitu mendengar kampungku nyaris tertimbun longsor. Tapi ibu melarangku datang, situasi belum aman. Masih sering terjadi longsor susulan. Para polisi hutan, petugas keamanan dan semua lelaki di desa bergantian berjaga. Terus memantau perkembangan, dan siap memberi kabar jika sewaktu waktu longsoran menimbun telaga. Hal ini jelas sangat berbahaya, karena jika air telaga tumpah, Jakarta akan dilanda banjir yang lebih besar lagi, karena telaga adalah hulu sungai Ciliwung.

Aku tidak mengerti mengapa longsor bisa terjadi. Aku melihat gunung di atas telaga adalah hutan yang sangat rimbun, tidak ada yang menebang pohon di sana, karena termasuk kawasan taman nasional yang dijaga ketat. Hasil analisa beberapa petugas menyimpulkan, bahwa penyebab longsor adalah retakan pada tanah dan hujan yang terus menerus mengguyur mengalir di sela retakan, membuat tanah tergerus dan akar-akar pohon kehilangan ikatan. 

Singkat cerita, akhirnya aku kembali ke sana. Disambut hujan dan kabut tebal. Penduduk sudah kembali ke rumah masing masing. Kecemasan masih terpancar dari wajah mereka. 
Aku meminta pak Dili untuk menemaniku meninjau daerah longsor. Tak kupedulikan tanah becek, berlumpur dan pacet. Kulihat pohon pohon besar yang tumbang, pohon teh yang tertimbun tanah dan beberapa aliran air baru. 




Sampai tiba-tiba kakiku terpaku, sesuatu menyuruhku berhenti, kutengadahkan kepala dan kulihat sebuah pohon besar, walau tertutup kabut berdiri gagah di depanku. 

Kulihat banyak mata memandangku di antara dedaunan, kutegaskan berkali kali, karena kukira itu hanya cahaya matahari yang menembus dedaunan, tapi tidak...yang kulihat memang berpasang mata. Entah mata siapa. 

Pak Dili menghampiriku. Dia berkata, sapalah mereka..neng sudah melihatnya. 
Aku hanya mampu menyapa dalam hati, 
Hai....
Mata-mata itu tersenyum, lalu membentuk bayangan manusia manusia berjubah. Entah mengapa rasanya aku sudah lama mengenal mereka. Wajah-wajah yang tampak tak asing bagiku. 
Tiba tiba angin bertiup, di balik kabut muncullah sosok seorang Ratu lengkap dengan tiara dan pakaian kebesarannya. 
Suaranya lembut berkata, putriku...kembalilah....
Aku terpana, mengapa rasanya dia dekat sekali di hatiku? Tapi aku tak mengingatnya. Kedua lengannya berusaha meraihku, tapi rasa takut membuatku mundur selangkah menjauh darinya. Kakiku terjerembab dalam lumpur, saat aku hampir terjatuh tiba-tiba kulihat wajah ibu dan ayahku yang selama ini hanya ada dalam pikiranku saja. Karena aku tak pernah bertemu dengan mereka. Mereka tersenyum padaku. Dengan lembut mereka menyapaku,
Pulanglah nak..di sinilah tempatmu. Bersama kami. Tidakkah  kamu lelah ratusan tahun mencari cinta sejatimu?

Lihatlah sekelilingmu. kebun teh ini... Apakah kamu mengingatnya? Sewaktu kecil kamu senang sekali bermain di sini, bersembunyi di antara pohon-pohon teh ini. Dan telaga ini, ingatkah kamu suka memancing di sini?

Banyak gambaran berkelebat di kepalaku, kepingan-kepingan puzle yang tak aku mengerti.

Ibu, siapakah aku sebenarnya? 
Dia tak menjawab, dan hanya memberiku senyum yang menenangkan jiwaku.

Kemudian aku tersadar, sebuah kisah terunut jelas.
Aku adalah sang Putri yang ditinggal kekasih. Dan aku menitis pada gadis kecil yang ditinggal mati karena malaria. Aku kembali menitis melalui sebuah foto tua, dan karena cinta seorang pria, dia membebaskanku. Dan sekarang aku adalah Kyara. Gadis dari masa lalu. Apakah aku memang harus kembali? Apakah aku harus pulang?

Tak kusadari kehadiran pak Dili yang sejak tadi menemaniku. Perlahan kutarik kakiku dari benaman lumpur. Kupandangi pohon besar yang tegak didepanku, tak ada lagi bayang-bayang Sang Ratu, ibu dan ayahku.
Di kaki pohon itu, sebuah mata air baru membentuk  kolam kecil berisi ikan-ikan yang entah darimana datangnya. Ikan-ikan itu mengikuti langkah kakiku, kemana aku pergi. Tempat ini begitu tenang dan aku tahu, kesinilah akhirnya aku harus pulang.

Aku bertanya pada pak Dili, apa nama pohon ini? Dengan lirih dia menjawab, kiara neng.... pohon kiara....
Seperti nama neng... 




                                                        
******
 
Kyaraku tak pernah kembali. Kususuli dia ke kebun teh tempat dia biasa bertapa, tapi dia tak ada. Kejelajahi tiga telaga, tempat yang Kya kerap berbagi cerita, juga tidak ada. Kutanya satu persatu orang di kampung tempat dia tinggal, tapi mereka sudah lama tak melihat Kyara. Bahkan pak Dili, hanya tertunduk, diam seribu bahasa. Kuminta bantuan para jagawana, bahkan aku meminta bantuanm Ari untuk mencari. Tapi mereka tak menemukan jejaknya. Kyara lenyap begitu saja bagai ditelan bumi.
Ketika ibu tempat Kyara menginap di kebun teh, mengembalikan barang-barang milik Kyara, sebuah foto tua terjatuh dari saku baju. 
Dan aku mengerti cerita Ari benar adanya.
Itu foto Kyara kecil, Kyaraku...
Gadis dari masa lalu.