Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Sabtu, 02 Agustus 2014

Dua setengah

#1 Mbah Surti
Mungkinkah kau mencintai diriku selama lamanya,
hingga maut memisahkan
Buka  hanya cinta yang sesaat trus menghilang,
bila hasrat tlah usai....

Cinta memang tidak sederhana. Jalannya kadang penuh liku. Seperti cinta mbah Surti pada almarhum suaminya. Dua tahun lalu, aku kerap melihat seorang nenek yg menggendong si kakek di punggungnya. Tubuh kecil itu begitu kuat. Tak ada sirat kesal di wajahnya karena harus mengurus sang suami yg kakinya lumpuh.
Kelak aku tahu, bahwa si nenek bernama mbah Surti. Kalau mbah Surti lelah, dia akan menurunkan si kakek dr gendongannya.  Dan jika mbah Surti ingin beristirahat, dia akan membaringkan kepalanya di pangkuan si kakek. Si kakek lalu menembang dan dengan lembut mengusap rambut mbah Surti sampai tertidur.  Pemandangan yg langka bukan?
Lalu aku kehilangan mereka. Dan baru bertemu mbah Surti lagi beberapa minggu yang lalu. Dia tampak beda. Matanya kosong. Rambutnya kusut. Kata orang2 sejak suaminya meninggal, mbah Surti jadi linglung. Kadang ada beberapa bunga terselip di rambutnya. Katanya si kakek yg memberinya.
Mbah Surti juga suka marah-marah sekarang. Walau baru saja diberi makan, dia tetap lupa dan akan minta lagi. Selalu begitu. Nasi, kopi... baru sejenak masuk perutnya, dia sudah lupa lagi. Dan yg parah, mbah Surti sekarang merokok. Entah darimana dia mendapatkan uang untuk membeli rokok. Mungkin pemberian dari orang-orang yg kasihan padanya.
Namanya mbah Surti, nenek tua pikun yang tinggal di sudut pasar. Giginya tinggal dua seperti lagu burung kakatua. Darinya aku belajar, bahwa kadang dicintai sampai mati akan meninggalkan luka yg teramat dalam...

#2 Rambutan
Jalan soreku hari ini, ditemani hembusan angin, gemerisik daun, suara jangkrik yang mulai berbunyi, dan jalan yang sunyi, semua membawa ingatanku tentang kamu. Aku suka jalan kaki. Katamu dulu.
Dan itu yang aku lakukan sekarang. Jalan kaki setiap hari.
Tahukah kamu, jalan ini penuh dengan cerita. Akan kuceritakan salah satunya.
Suatu hari, saat aku menyusuri jalan ini, aku bertemu dengan sepasang kekasih. Mereka menyapaku dan meminta aku mendekat.
Mba.. jadilah saksi cinta kami. Kami menanam pohon rambutan ini, kami akan bergantian menyiraminya. Kami berharap saat pohon ini berbuah kelak, anak cucu kami tau bahwa ini adalah pohon cinta ayahbunda kakek nenek mereka.
Aku hanya mengangguk saja. Tak lagi terbius dengan cinta anak muda. Lihat saja jika oksitoksin kalian habis. Masihkan sanggup menghadapi kenyataan hidup yg sesungguhnya?
Bulan berlalu..awalnya aku memang sering melihat mereka bergantian menyirami pohon rambutan itu.  Tapi sejak Jakarta diserang panas yg menyengat, disaat pepohonan membutuhkan air karna tanah tak lagi sanggup menyediakan, aku tidak melihat sepasang kekasih itu menyirami lagi pohon rambutan mereka. Pohon itu mulai mengering dan akhirnya mati. Suatu hari, aku bertemu dengan si wanita yg menanam pohon rambutan itu. Aku bertanya, mengapa dia tak lagi menyirami pohon cinta mereka. Mungkin aku tidak akan usil, kalau mereka tidak pernah memintaku menjadi saksi penanaman pohon cinta mereka.
Si wanita bercerita, bahwa dia sudah putus dengan kekasihnya. Karena itu mereka tidak lg mengurus pohon cinta mereka.
Hmmm...bagaimana kalau pohon itu anak mreka? Apakah akan mereka tinggalkan begitu saja ketika cinta yg sudah usai?

Cinta selalu memakan korban. Mbah Surti jadi linglung setelah ditinggal mati suaminya. Pohon rambutan jadi kering karena cinta yg sudah lewat. Dan aku? Aku jadi korban dari cintamu, atau kamu yg jadi korban dari cintaku?

Kususuri lagi jalan ini, mendung yang menggayut akhirnya pecah, menetaskan milyaran titik air yg jatuh di atas kepalaku.
Sering kudengar beberapa orang berbisik bisik di belakangku,
"Kasihan..cewe stres.. depresi.. paling sebentar lagi gila... kerjanya jalaan terus. Hujan juga jalan terus. Kadang malah senyum-senyum sendiri".
Dan mereka menjuluki aku...
Gadis yang menyusuri jalan di kala hujan.