Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Sabtu, 10 Mei 2014

Batuk rese...

Lelakiku semalam datang dalam mimpi.
Dengan tubuh letih, dia memelukku seraya berkata, sudah kubuktikan aku kembali, walau cintaku kini tak lagi mencari.
Ah, dia tak perlu tahu kalau cintaku sudah pergi, karena dia tetaplah satu-satunya lelaki yang tak asing di hati ini.
Lalu aku terbangun karena batuk yang tak henti-henti, membawa serta lelakiku pergi.
Entah kapan lagi dia datang kembali.
Dasar batuk rese, tidak kau ijinkan aku nikmati pelukan hangatnya sebentar lagi!

*yang nulis lagi flu.. :(

Senin, 05 Mei 2014

Kasih tak berdalih, kasih tak berpamrih.

Masih kuingat jelas cerita-ceritamu dua tahun yang lalu. Katamu, ini adalah saat paling kelam dalam hidupmu. Dan mengalirlah airmatamu tiap mengulang cerita itu.

Ini kisah tentang suami yang kerap menyakitimu, membuatmu gemetar ketakutan tiap berada di dekatnya. Takut jika dia tiba-tiba menyakiti dirimu atau anakmu. Awalnya pernikahan kalian biasa saja, menikah karena buah cinta yang tumbuh sebelum pernikahan dilangsungkan. Tapi kelamaan suamimu mulai berubah menjadi kasar. Suara teriakan, suara pintu dan barang-barang yang dibanting sudah jadi hal biasa di rumahmu. Bahkan dia juga mulai menyakiti anak-anakmu dan bertindak kasar di depan orangtuamu. 
Kamu juga bercerita bahwa dengan gemetar, kamu terpaksa menjalankan kewajibanmu untuk melayaninya di ranjang. Sampai akhirnya tiba di satu titik, pertengkaran memuncak, dia mengusirmu dari rumah dan saat itu tumbuhlah keberanianmu untuk bertahan hidup, membela diri, dan berpisah dari dia. 
Jalannya tak mudah, sidang demi sidang, biaya besar yang dikeluarkan untuk memperebutkan anak-anak dan harta gono gini.
Setelah palu hakim diketuk, hari-hari dilalui dengan rindu karena terpisah dari seorang anakmu. 
Sampai akhirnya keadaan mulai tenang. Dan kita mulai jarang bertukar kabar.

Masih kuat dalam ingatanku bagaimana aku susah tidur jika habis mendengar ceritamu. Bagaimana kita berdoa bersama, bagaimana kusediakan waktu, pikiran dan perhatianku untukmu. Masih kuingat ucapan trimakasih yang terus keluar dari bibirmu. 

Dan beberapa hari lalu, kudengar bahwa kamu sudah menikah lagi dengan kekasih barumu. Yang bahkan menurut berita, kamu sudah berkencan dengannya jauh sebelum kamu bercerai. Tentu saja aku kaget, kamu tidak mengundangku... 
Tentu saja aku  kecewa. Begitu tidak berartinya diriku? Semudah itukah melupakan orang yang pernah menjadi tempat curahan hati di saat paling kelam dalam hidupmu? 
Kamu berbagi saat "surut"mu, tapi aku tak tahu saat "pasang"mu. 
 
Wajarkah jika aku marah? 
Sejujurnya aku tak sanggup  mendoakan kebahagiaanmu. Namun aku juga tak ingin berucap, biarlah Tuhan yang membalas. Karena sudah terlalu banyak yang mesti diurus Tuhan dan aku tak mau merepotkan Dia dengan masalah sepele.

Ketika aku menceritakan hal ini pada temanku Aki,sambil bercanda dia berkata, 
"Kamu beb...kalau besok dia dipukulin suaminya lagi, pasti larinya ke kamu juga. Kamu akan menerimanya kembali dengan tangan terbuka dan melupakan semua yang pernah membuatmu kecewa. Kamu itu kan kadang antara baik dan tolol, tidak ada bedanya beb!" 
Aku tahu Aki hanya hendak mengingatkanku untuk belajar dari pengalaman, untuk tidak naif dan menganggap semua orang baik.

Di tengah kecewa, kuteringat kata-kata almarhum ayahku.
Jika kamu berbuat baik pada orang lain, lupakan!! Jika orang lain berbuat baik padamu, ingatlah!!

Betapa malunya aku... Tidak biasanya aku begini. Aku si pelupa ini ternyata mengingat-ingat "kebaikan" yang pernah kulakukan kepadamu dulu. Dan berharap kamu mengingatku, serta membuktikannya dengan undangan pernikahanmu, sebagai pamrihnya. Jika demikian, rendah sekali aku menghargai diriku sendiri!
Yap...kini aku mengerti dan selesai sudah satu bab lagi dalam hidupku. Bab yang berisi pembelajaran tentang kasih tanpa dalih dan tanpa pamrih. 

Aku bangga pada ayahku, karena beliau telah mengajarkan aku banyak hal-hal baik dalam hidup. 
Seseorang pernah berkata padaku bahwa dia diajarkan ayahnya seperti ini. Kalau kamu baik, aku bisa lebih baik, kalau kamu jahat, aku bisa lebih jahat. Yang pada kenyataannya dia justru hanya bisa berbuat jahat pada orang yang sudah baik padanya.
Syukurlah dia bukan ayahku. Ayahku tak pernah mengajarku untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. 
Ayahku mengajarku untuk membalas kejahatan dengan kebaikan, dan jika itu sulit untuk kulakukan, abaikan saja kejahatan yang mereka perbuat.
Selamat menempuh hidup baru ya teman. Semoga kali ini kamu berbahagia dalam pernikahanmu.
Lega akhirnya bisa dengan tulus menuliskan hal ini.