Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Senin, 29 April 2013

bahagia itu sederhana (lagi)

Berhasil punya foto SIM yang unyu unyu. 

Internet larinya cepet, kaya maling ketauan warga.

Leyeh leyeh sendirian, mo bengong, ketawa, jungkir balik, nangis ga ada yang ngeliatin.

Bangun tidur, ditatap sepasang mata bulat dan ekor yang bergoyang goyang.

Mengingatmu sekali lagi....

laut

Kemarin aku bertemu dengan laut,
cinta keduaku...
aku menatap jauh ke dalam hatinya,
dan mendengar ia berkata,
aku mencintaimu..

Akankah kita menua bersama? tanyaku padanya.
dipeluknya tubuhku dengan birunya, 
semua ini untukmu...bisiknya
kukecup dia sebelum pergi.
aku akan kembali lagi, janjiku dalam hati.
dan laut menangis melihatku pergi... 

kuharap tumbuh siripku,
agar bisa dekat dengannya selalu
sungguh aku juga mencintaimu...

hilang

Ada yang kau renggut dariku
bagai senja direnggut malam,
temaramnya berganti kelam
seperti embun pagi tersaput mentari,
beningnya hilang berganti kerontang.

Pada pelangi pagi,
yang jatuh di ujung daun
pada kota kota sunyi yang dilewati dini hari,
pada butiran pasir yang berbisik mengusik hati
pada tanggul pantai yang menemani dalam diam
pada cinta yang tak pernah terlahir menjadi suatu kisah

Selasa, 23 April 2013

batu warna

Butirannya berserakan di halaman rumahku. Ada yang berwana merah, biru, hijau, putih dan abu-abu. Bunyinya berderak jika terinjak, baik olehku atau oleh anjingku. Juga berderak pada malam hari saat kucing mengendap-endap melintasi halaman, masuk rumah dan tidur di atas keset teras.

Kupandangi beragam bentuknya, ada yang bulat, ada yang pipih, ada yang besar dan ada yang kecil. Ketika hujan membasahi butirannya, mereka seolah bercerita, tentang sebuah kisah pilu.

Kami datang dari jauh, dari timur Indonesia, dari sebuah desa kecil bernama Kolbana. Desa para pencari batu. 
Desa miskin di tepi pantai yang indah, yang airnya begitu biru. Penduduknya bukanlah nelayan, karena laut yang menghadap samudra terlalu berbahaya untuk diarungi.
Desa dengan curah hujan yang minim sehingga penduduknya tidak bisa bercocok tanam karena susah air. 
Desa yang dibekali alam dengan batuan berwarna warni yang terhampar di sepanjang pantainya, sebagai pengganti mata pencaharian penduduknya.

Sedari pagi, sesudah mengambil air untuk kebutuhan sehari hari, para penduduk desa pergi ke pantai untuk mencari batu. Perempuan dan laki laki, dewasa dan anak anak. Mereka menggali mencari butiran batu, lalu memilahnya berdasarkan warna, besaran dan bentuk.
Butiran batu menjadi penyambung hidup mereka, dari batu batu itulah mereka dapat membeli jagung kering yang ditumbuk lalu direbus sampai menjadi bubur jagung yang dicampur sedikit dedaunan hijau sebagai menu makanan sehari hari penduduk dan anak anak di sana. Anak anak dengan tubuh yang kurus dan kulit yang hitam, namun senyum mereka manis walau hidung mereka beringus.

Butiran batu dijual sepuluh ribu rupiah perkarung dengan berat limapuluh kilogram. Sesampainya di Jakarta, dijual dengan harga tigaratus lima puluh ribu rupiah perkarung. Aku membeli dengan harga tigapuluh lima ribu rupiah per lima kilogram. Yang berarti hanya beberapa puluh butir saja.
Perjalanan yang begitu jauh, membuat para pencari batu tidak bisa mengecap manisnya lembaran uang seratus ribuan.
Aku berharap kemurahan alam tak habis bagi mereka dan butiran batu warna akan terus ada.

Kupandangi butiran batu warna di halaman rumahku. Kubayangkan sebuah perjalanan jauh yang ditempuh sebelum sampai di sini. Aku tahu ada cerita di balik tiap butirnya, cerita tentang tangan tangan yang memilih dan memilahnya di bawah terik matahari.
Butiran yang berasal dari sebuah desa nun jauh di sana...

Sabtu, 20 April 2013

mendua

Kemarin aku lebih mencintai dia yang dingin dan berkabut
Yang membuatku selalu ingin kembali lagi
Tapi kini hatiku mendua
Dia yang lain, menunjukkan kehangatannya
Juga keheningan dan keindahannya yang penuh misteri
Ketika kubiarkan diriku hanyut dalam lautan tak bertepi
Semua ragu hilang dan kuatirpun lenyap
Maafkan aku
Karena aku mencintai kalian berdua dengan cara yang berbeda....

Jumat, 19 April 2013

Pemuda seribu pulau

Namaku Taufan. Aku tinggal di sebuah pulau kecil  yang dihuni 4000 jiwa. Kamu bisa membandingkan besarnya dengan kompleks rumahmu. Kita sebut saja pulauku ini pulau cinta ya. 
Pulauku sekarang menjadi pulau wisata. Pulau cinta memanjang dari barat ke timur. Penduduk hanya mendiami bagian tengah pulau. Ujung barat pulau hanya terdiri dari hutan kelapa yang rimbun. Dan bagian timur pulau adalah tempat water sport dan ada sebuah jembatan yang menghubungkan pulau cinta besar dan pulau cinta kecil. Pulau cinta kecil tidak berpenduduk, hanya ada hutan dan sebuah makam di sana.
Pekerjaanku sekarang adalah tour guide. Mengantar tamu yang mengunjungi pulauku. 

Sebelumnya aku merantau dan bekerja sebagai penyelam kompresor, tentu saja bukan untuk bersenang senang seperti kalian, tetapi untuk mencari ikan, timah atau memasang alat penyedot pasir, tergantung apa yang diperintahkan juraganku. 
Pekerjaan yang beresiko tinggi karena minim pengaman. Tanpa  baju selam khusus, tanpa masker, hanya kacamata renang kayu dan fin (kaki katak) itupun jika ada, pemberat yang kugunakan hanya timah atau batu.
Aku mengandalkan kompresor sebagai alat bantu nafas, tentu saja udara yang dihasilkan tidak tersaring dengan baik dan jelas sangat membahayakan nyawa. Aku pernah nyaris lumpuh karena menyelam. Sejak itu aku kembali ke pulauku.

Hari ini seperti hari hari yang lain di pulauku yang panas. Karena bukan akhir pekan, tidak terlalu banyak pengunjung yang datang. Kata bos ku akan ada dua tamu yang berkunjung dan menginap selama tiga hari dua malam. Mereka mengambil paket lengkap, kerena itu pelayananku juga harus lebih baik lagi agar tidak mengecewakan mereka yang sudah membayar lebih. Seorang ibu dan putri kecilnya. Kutunggu kedatangan mereka di dermaga. Setibanya mereka, aku mengantar mereka ke penginapan dengan menggunakan bentor, sebutan kami untuk becak motor. Hasil modifikasi becak yang tidak lagi dikayuh, tapi menggunakan motor sebagai penggerak.

Ibu Saras dan putrinya Intan sangat ramah padaku. Komentar pertama dari gadis kecil itu adalah, 
kenapa pulaunya tidak seperti yang ada di internet? 
Hahahaha...yang di internet terlihat lebih indah ya dik. 
Pulau berpenduduk memang ramai, dan pemukimannya juga padat. Sayang memang, karena pantai di sini sudah banyak yang disekat dengan tembok sebagai pembatas, seperti petak petak kontrakan. Jelas mengurangi keindahan pantai yang tidak lagi terlihat lepas dan luas.

Acara kami hari itu adalah berjalan jalan mengunjungi saung cemara, sayang sekali angin mati sewaktu kami di sana. Intan yang kepanasan mengajak kami kembali ke penginapan. 
Menjelang sore kami berjalan jalan menyeberangi jembatan cinta sampai ke pulau cinta kecil dan beruntung kami sempat melihat sekumpulan lumba lumba yang berenang melompat lompat dekat sekali dengan kami. 
Bu Saras senang sekali mendengarku bercerita tentang pulau cinta. Dia penyuka sejarah. Kami berbagi ilmu, dia mengajariku mengambil gambar dengan menggunakan kamera yang bisa digunakan di bawah air, bagaimana supaya hasil foto bisa maksimal. Caranya menjelaskan sangat mudah dimengerti olehku.  
Intan sendiri sama seperti anak anak lain, lebih menikmati main banana boat daripada berjalan jalan menikmati pemandangan. 
Senja itu kami nikmati sejenak sebelum kembali ke penginapan. Tentu saja terutama karena Intan sudah mengelus ngelus perutnya karena kelaparan. Anak itu lucu.
Malam itu, sebenarnya aku ingin berbincang bincang dengan bu Saras. Tapi baru jam 8 kulihat lampu kamar mereka sudah gelap. Mungkin mereka sudah tidur karena lelah berkegiatan seharian ini, sementara aku sulit sekali memejamkan mata. Tak sabar kutunggu pagi untuk bertemu lagi dengan mereka.

Pagi keesokan harinya kami sudah siap untuk pergi ke beberapa pulau untuk snorkling. Walau sudah membawa perlengkapan snorkling lengkap, ternyata bu Saras dan Intan lebih nyaman hanya menggunakan kacamata renang saja karena mereka berdua ternyata perenang handal yang bisa tahan lama bernafas di dalam air. 
Intan yang baru sekali ini snorkling tidak menunjukkan tanda tanda takut atau panik sama sekali. Dia malah betah berlama lama memperhatikan indahnya terumbu karang dan ikan hias yang berwarna warni. Supaya ikan ikan berkumpul, kami memberi mereka makan remah remah roti yang sudah disiapkan. Ketika remah roti habis, ibu dan anak itu memberi makan ikan dengan makan siang mereka, nasi, tempe, nuget, udang bahkan kacang panjang. 
Ibu Saras naik lebih dulu ke atas perahu karena lelah. Ketika kulihat jemarinya gemetar, aku tahu dia sudah tidak ada tenaga untuk naik ke atas perahu. Aku membantunya melepaskan life jacket agar lebih mudah naik. Kuminta rekanku untuk tetap menjaga Intan yang masih asik di air. Aku naik lebih dulu dan kuulurkan tangan untuk membantunya naik ke permukaan. Wajahnya pucat tapi tawa dan senyum tak lepas dari bibirnya. 
Dia berkata, ah ternyata saya sudah mulai tua...hahahahaha..
Bagiku dia sama sekali tidak terlihat tua. 
Empat jam snorkling pasti melelahkan siapapun juga.

Lewat tengah hari kami kembali ke penginapan, bu Saras dan Intan beristirahat sejenak. Dan aku lagi lagi sangat ingin waktu istirahat segera berlalu, sehingga kami  bisa bersama sama lagi. Beberapa kali aku mengirim pesan singkat menanyakan keadaan mereka. Sebenarnya aku juga ingin bertanya mengapa mereka liburan berdua saja. Mengapa suami bu Saras tidak ikut. Tapi rasanya sangat tidak sopan jika aku menanyakan hal tersebut. Entah apa yang membuatku sangat ingin tahu tentang mereka. 

Sore itu kami berjalan jalan menuju ujung barat pulau, menikmati angin senja dan gugusan pohon kelapa sambil menunggu matahari terbenam. Sepi sepanjang jalan, hanya ada kami bertiga yang tertawa tawa meningkahi suara desau angin. 
Bahagia kurasakan berada di antara mereka berdua. Dan pulauku ini, menjadi begitu indah tidak seperti biasanya. Malam mulai turun ketika kami kembali menuju ke penginapan. 
Ketika melewati rumahku, bu Saras memanggil namaku, 
Taufaaaan... 
Intan ikut ikutan memanggil namaku...
Om Taufaaan... 
Padahal aku jelas jelas ada di sebelah mereka. Ibuku keluar dari dalam rumah, beliau berkata, 
Taufan lagi ngantar tamu.. 
Lalu bu Saras dan Intan tertawa, 
Iya ibuu...kami tamunya. 
Jelas saja ibuku bingung. Beliau tidak melihatku di kegelapan karena kulitku hitam. Tamu tamu yang nakal.

Seperti kemarin, sesampainya di penginapan mereka langsung tidur. Aku sudah mengirimkan pesan singkat bahwa akan tidur di dekat penginapan agar bisa segera datang jika sewaktu waktu dibutuhkan. Ini malam terakhir, mungkin bu Saras ingin menikmati malam di tepi pantai. Tapi ternyata harapanku belum terkabul.
Mungkin karena lelah, aku bisa tertidur lelap dan malam itu aku bermimpi. Mimpi pergi ke Jakarta dan berjalan jalan dengan bu Saras dan Intan. Mimpi yang tak kumengerti artinya. 

Pagi terakhir di pulau cinta. Kami snorkling di laut depan penginapan. Sedikit ke tengah menggunakan donat gabus sebagai pengganti perahu. Bu Saras dan Intan tertawa tawa ketika aku menarik mereka ke tengah laut. Katanya aku hebat, bisa berjalan di air dan kuat menarik mereka. Tentu saja kuat, karena semua terasa ringan saja di air. 
Ikan dan karang di dekat penginapan juga tak kalah indah, sayang beberapa ada yang mati dan rusak. Kami snorkling sampai kulit kemerahan terpanggang matahari.
Rasanya aku tak ingin hari ini berakhir. Bahkan belum berpisah saja aku sudah bisa merasakan rinduku pada mereka. Namun liburan harus usai. Mereka harus kembali pulang dan aku kembali menjadi pemuda pulau. 

Berkecamuk rasa di dada saat kuhantar mereka ke dermaga. Belum pernah aku berpisah seberat ini dengan tamuku. Kutunggu sampai mereka berangkat, kupandangi speedboat yang menderu menjauh dari pulauku. Mereka melambaikan tangan sambil tertawa tawa, kucoba untuk tersenyum namun sulit rasanya.  Perlahan speedboat membelah laut dan membawa separuh hatiku pergi. 

Ketika speedboat menghilang dari pandangan mata, kukirimkan sebuah pesan singkat...
Saras, bagaimana jika Taufan rindu?

                                  

Senin, 01 April 2013

dalam bingkai alam 4


Ayang memang sadar dari komanya dan alat pacu jantung sudah tertanam di bawah tulang selangkanya. Tapi sebagian dirinya telah hilang. Dia bukan lagi Ayang yang dulu, yang ceria, yang selalu tertawa.
Sekarang dia hanya seorang gadis rapuh yang sedang berusaha mengembalikan sebagian ingatannya yang hilang dan kembali belajar menggerakkan semua anggota tubuhnya.

Ryan dengan setia meluangkan waktu untuk merawat kekasihnya. Tapi Ayang tidak mengenali Ryan. Banyak wajah wajah asing dalam hidupnya, bahkan Danny dan beberapa anggota keluarganya yang sudah dia kenal lama. 
Banyak penggalan cerita yang tercerai berai seperti ribuan kepingan puzzle yang belum tersusun. Kadang sebuah ingatan muncul tiba tiba seperti cahaya di tengah kegelapan. Tapi kemudian hilang begitu saja.
Belajar mengingat dan bergantung pada orang lain untuk melakukan sesuatu, sangat membuatnya frustasi. 
Hidup seperti ini bukan lagi hidup baginya. Berkali kali terlintas dalam benaknya mengapa kemarin dia tidak mati saja.

Sudah tiga bulan Ayang menjalani fisioterapi untuk memulihkan kondisinya. Dia sudah bisa berjalan dengan baik dan kedua lengannya sudah berfungsi maksimal. Dokter memang tidak terlalu berharap ingatan Ayang akan pulih sepenuhnya. Akan lebih baik jika hal ini dianggap seperti memulai hidup baru. Berkenalan kembali dan belajar memahami semua dari awal lagi.

Suatu hari Danny melihat Ayang tengah termangu di halaman belakang rumahnya. Rimbunan pohon bambu kuning yang tertiup angin menimbulkan bunyi gemerisik yang khas. 
Haayoo... lagi ngelamunin apa? Ryan sudah pulang Yang?
Dan...aku mau bicara..
Bicara saja, aku akan jadi pendengar yang baik.
Aku tidak nyaman berdekatan dengan Ryan, Dan... Aku tahu dia baik sekali padaku, penuh perhatian dan banyak membantu. Tapi dia memperlakukan aku seperti kekasihnya. Padahal aku tidak mengingatnya. Kalau dulu kami memang kekasih, sekarang situasinya berbeda, aku tidak punya rasa apa apa terhadap dia. 
Tolong bicara padanya Dan, aku berterimakasih atas bantuannya selama ini. Aku ingin belajar mandiri, karena itu dia tidak perlu merawatku lagi. 

Tentu saja Danny merasa serba salah, sebagai teman dia mengerti apa yang dirasakan Ayang, sebagai lelaki dia juga mengerti pengorbanan yang dilakukan Ryan. Akhirnya dia berkata,
Ayang, aku pikir, kamu harus jujur tentang perasaanmu terhadap Ryan. Semoga Ryan bisa mengerti.  Dan jika setelah itu dia berusaha untuk memperjuangkanmu dari awal lagi, aku pikir itu haknya. Adil bukan?

Dan sedemikian besar cinta Ryan, setelah Ayang mengutarakan perasaannya, dia berusaha mengerti dan memberi Ayang waktu. Ryan mulai mengurangi kunjungan dan komunikasinya dengan Ayang. Dia tidak ingin memaksakan Ayang untuk kembali menjadi Ayangnya yang dulu. Walau pedih rasanya, tapi Ryan berusaha tegar.

Enam bulan berlalu, seperti hidup yang selalu berubah, demikian juga manusia yang menjalaninya. Naluri petualang ternyata tidak pernah hilang dari dalam diri Ayang. Dia mulai kembali ke gunung, tidak untuk mendakinya seperti dulu, tapi hanya berjalan jalan menikmati hijaunya hutan dan kabut yang turun perlahan. Danny kerap menemaninya menjelajah. Seperti hari ini. 
Malam mulai larut ketika Ayang dan Danny menikmati hangatnya api unggun. Beberapa teman lain ada yang bernyanyi dan bermain gitar serta harmonika.

Yang, dulu kita sering berkemah seperti ini. Kita akan berbincang tentang banyak hal. Aku pernah bertanya,
Yang, kamu ingat ga waktu kita makan rambutan di rumah si Aloy?
Dan kamu akan menjawab dengan ketus,
Maksudmu, waktu kamu memanjat pohon dan menghabiskan rambutan yang ada, sendirian?
Yaah, aku kan kasih kamu juga...
Maksudmu, kamu baru kasih setelah aku menunggu belas kasihanmu dengan muka melas, supaya kamu melemparkan rambutan itu dan lebih banyak kulit rambutan yang kamu lempar ke aku daripada buahnya yang masih berisi??
Waduuh..haha..masih marah ya..haha.. Makanya belajar manjat dong.
Maksudmu, kamu mau melihatku bisa manjat tapi tidak bisa turun seperti waktu itu?
Whahahahahahaha...udaah Yaang..uuudaah...ampun Yang..sakit perutku kalau mengingat waktu itu..hahaha...
Ketawa aja terus...ingat siapa yang tertawa paling akhir hari itu? 
Siapa yang terus anyang-anyangan, batuk  batuk dan sariawan karena kebanyakan makan rambutan?
Whahahahaha, aakuuu Yaang..aakuuu whahahaha...
kuwalat aku sama kamu ya...whahahahaha... 
Aku sampai tidak bisa tidur semalaman dan kamu terus tertawakan aku...whahahaha...
Yang, pohon rambutannya si Aloy masih ada ga ya?
Udah jadi mall..

Atau aku akan bertanya padamu tentang hal lain,

Yaaang...
Hmmm..
Ingat ga waktu kita kemping pertama kali? 
Waktu malam malam kamu membuat havermut. Aku mau minta, tapi malu.
Yaa, ingat..dan kamu merusak malam dengan buang gas yang ampun ampunan aromanya...
Whahahaha...kan aku sudah minta maaf..hahaha...
aku masuk angin dan sudah dua hari tidak bab, hahaha....
tahu sendirilah bagaimana rasanya perutku...hahaha. 
Waktu itu aku belum terbiasa bab di sungai. Hahahaha...
Yang, serius nih.. aku ga nyangka lho, kalau kamu ternyata bisa masak.
Yaaang...
Hmmm....
Masakin aku havermut dong...

Tentu saja, kamu tahu aku hanya menggodamu, dan kamu akan membenamkan kupluk dalam dalam di kepalaku. Hahahaha...
Tiba tiba Ayang menyandarkan kepalanya di bahuku, aku terkejut dan reflek memeluk bahunya, aku pikir dia akan pingsan seperti dulu. Ternyata tidak. Ayang hanya bersandar dan sesekali menghela nafas panjang.
Kemudian dia berkata,
Dan...kalau aku menyukai seseorang, apakah itu salah?
Tentu saja tidak...mengapa kamu bertanya seperti itu?
Karena aku tidak tahu, apakah ini hanya perasaan sesaat saja, terbawa suasana atau apa. Aku tidak tahu seperti apa dulu perasaanku terhadapnya, tapi beberapa waktu ini ada yang lain yang aku rasa..rindu, nyaman, bahagia bila ada di dekatnya. Bila bertemu dengannya seperti ada kumpulan kupu kupu yang hinggap di perutku.
Bolehkah aku tahu siapa orang yang beruntung itu?
Apa pantas seorang wanita mengutarakan isi hatinya?
Kenapa tidak?
Hmm..kamu Dan.. Kamu orangnya..

Danny terhenyak...sepuluh tahun mereka bersahabat, selama itu pula Danny memendam cintanya, rindunya dan harapannya. Kini semua menjadi nyata. Wanita yang selama ini dia cintai, di tengah usahanya mengumpulkan serpihan ingatan yang telah hilang, sekarang jatuh cinta padanya.
Tiba tiba Danny merasakan sakit yang teramat dalam menusuk hati.
Bukan seperti ini yang dia harapkan...
Digenggamnya jemari Ayang. Dikecupnya perlahan. 

Dalam pikiran Ayang terlintas  sebuah  peristiwa yang dia tidak tahu terjadi di mana...
Aku sedang berjalan jalan di kebun buah buahan. 
Banyak sekali buah di sini. Naluri primataku keluar. 
Mana yang mau kumakan lebih dulu? 
Ada pisang, durian, mangga, sirsak, waah aku jadi bingung. 
Ini kedua kalinya aku datang ke sini, tapi masih tak tahu ini di mana.
Kalau aku ambil buah buahan itu, apa nanti yang punya tidak marah? 
Seperti dulu, tidak ada siapa siapa di sini. Hanya aku sendiri. 
Tiba tiba aku merasa ada yang menimpuk kepalaku, kulihat kulit rambutan... 
Tapi tak ada pohon rambutan di sini. Juga tidak ada orang. 
Apakah ada monyet? Apa monyet suka rambutan? 
Aku berjalan lagi, dan kulit rambutan lagi lagi dilemparkan ke arahku. 
Lama lama semakin banyak kulit rambutan yang berjatuhan. 
Aku mulai kesal, ingin aku berteriak...
"tunjukkan dirimu kalau berani!!"
Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. 
Sayup sayup terdengar suara memanggilku...
Ayang, bangun dong...
Jangan tidur terus.. 

Aku tahu itu kamu Danny.. 
Aku tahu itu kamu..

Lalu hening...mereka terdiam... 
Hanya derak suara kayu terbakar dan jangkrik hutan yang masih terdengar. Malam kian larut, dingin semakin menggigit. Di bawah taburan bintang, dunia anak manusia masih terjaga di depan api unggun yang mulai mengecil.

(Udahan sampai di sini.. :)