Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Selasa, 23 April 2013

batu warna

Butirannya berserakan di halaman rumahku. Ada yang berwana merah, biru, hijau, putih dan abu-abu. Bunyinya berderak jika terinjak, baik olehku atau oleh anjingku. Juga berderak pada malam hari saat kucing mengendap-endap melintasi halaman, masuk rumah dan tidur di atas keset teras.

Kupandangi beragam bentuknya, ada yang bulat, ada yang pipih, ada yang besar dan ada yang kecil. Ketika hujan membasahi butirannya, mereka seolah bercerita, tentang sebuah kisah pilu.

Kami datang dari jauh, dari timur Indonesia, dari sebuah desa kecil bernama Kolbana. Desa para pencari batu. 
Desa miskin di tepi pantai yang indah, yang airnya begitu biru. Penduduknya bukanlah nelayan, karena laut yang menghadap samudra terlalu berbahaya untuk diarungi.
Desa dengan curah hujan yang minim sehingga penduduknya tidak bisa bercocok tanam karena susah air. 
Desa yang dibekali alam dengan batuan berwarna warni yang terhampar di sepanjang pantainya, sebagai pengganti mata pencaharian penduduknya.

Sedari pagi, sesudah mengambil air untuk kebutuhan sehari hari, para penduduk desa pergi ke pantai untuk mencari batu. Perempuan dan laki laki, dewasa dan anak anak. Mereka menggali mencari butiran batu, lalu memilahnya berdasarkan warna, besaran dan bentuk.
Butiran batu menjadi penyambung hidup mereka, dari batu batu itulah mereka dapat membeli jagung kering yang ditumbuk lalu direbus sampai menjadi bubur jagung yang dicampur sedikit dedaunan hijau sebagai menu makanan sehari hari penduduk dan anak anak di sana. Anak anak dengan tubuh yang kurus dan kulit yang hitam, namun senyum mereka manis walau hidung mereka beringus.

Butiran batu dijual sepuluh ribu rupiah perkarung dengan berat limapuluh kilogram. Sesampainya di Jakarta, dijual dengan harga tigaratus lima puluh ribu rupiah perkarung. Aku membeli dengan harga tigapuluh lima ribu rupiah per lima kilogram. Yang berarti hanya beberapa puluh butir saja.
Perjalanan yang begitu jauh, membuat para pencari batu tidak bisa mengecap manisnya lembaran uang seratus ribuan.
Aku berharap kemurahan alam tak habis bagi mereka dan butiran batu warna akan terus ada.

Kupandangi butiran batu warna di halaman rumahku. Kubayangkan sebuah perjalanan jauh yang ditempuh sebelum sampai di sini. Aku tahu ada cerita di balik tiap butirnya, cerita tentang tangan tangan yang memilih dan memilahnya di bawah terik matahari.
Butiran yang berasal dari sebuah desa nun jauh di sana...