Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Senin, 26 November 2012

Pamit sejenak...


Tak terasa, waktunya sudah semakin dekat. 
Beberapa hari lagi tangan para dewa akan memperbaiki kelainan pada jantungku. 
Jadi untuk sementara, aku akan memfokuskan diri pada satu hal ini dulu. Persiapan sudah sejak lama aku lakukan, supaya bisa mendapat hasil maksimal dan resiko yang minimal. 
Mulai dari persiapan, mental, spiritual, fisik, dan materi tentunya.

Beberapa teman ada yang sudah mengetahui hal ini, baik dariku langsung ataupun bukan. 
Reaksi merekapun beragam, dari yang mendukung, penuh perhatian, peduli, acuh, berbasa basi, menjadikan bahan olokan, menjauh, bahkan menipuku pada saat seperti ini, pernah kualami. 
Tak mengapa, mungkin aku butuh sedikit waktu untuk bisa menerima hal hal yang tidak kuharapkan, atau mungkin aku yang salah karena sudah berharap terlalu tinggi. 
Tapi dari hal ini aku jadi belajar lebih banyak lagi tentang arti seorang "sahabat". 
Menurutku persahabatan adalah bagian dari seleksi alam. 
Semesta akan menunjukkan siapa sahabatmu yang sesungguhnya, yang menjadi sobatmu di kala duka. 
Aku merasa sangat beruntung karena mendapat kesempatan untuk mengetahui semua itu. 
Betapa aku terharu, ketika tahu bahwa tidak hanya keluarga, tetapi banyak sekali sahabat, bahkan jauh lebih banyak sahabat yang bersikap positif dengan mendoakan, menguatkan, penuh kasih dan penuh perhatian terhadapku. 
Mereka semua adalah anugerah yang diberikan Tuhan untukku. 
Aku tidak akan mengecewakan mereka, aku akan bertahan, aku akan terus berjuang.

Dan buat kalian semua pembaca blogku, siapapun dan di manapun kalian berada, terimakasih sudah mampir dan menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisanku. 
Terimakasih untuk komentar-komentarnya. 
Terimakasih juga bagi mereka yang setia membaca dalam diam. 
Luar biasa rasanya ketika aku tahu sudah hampir 7000 pengunjung yang pernah mampir membaca tulisan tulisanku. 
Karena aku baru mulai menulis dengan "hati" sejak awal tahun ini.
Blog ini 'rumah keong'ku dari dunia nyata, hanya segelintir teman yang mengenalku secara pribadi, yang tahu keberadaan blogku ini. 
Jadi untukku yang pemula, untukku yang suka bersembunyi, pengunjung sebanyak itu, bagiku sungguh suatu berkat. 
Awalnya aku menulis bukan untuk mencari pembaca, hanya untuk sekedar mengekspresikan rasa. 
Tapi ternyata kehadiran kalian telah memberiku spirit yang sangat besar, untuk terus menulis dan menulis lagi. 
Kalianlah orang orang yang mengenal "sisi lainku". 
Tulisanku tidak benderang, hanya kerlip kecil seperti kunang kunang.
Tulisan yang kutulis dengan ringan, seperti lambaian cemara angin yang membuai angan. 
Tulisan yang terkadang kusertai dengan lagu, karena lagu adalah irama hidupku.
Aku mohon maaf jika tanpa sengaja, ada tulisanku yang kurang berkenan bagi kalian. 

Sobat, aku mohon pamit dulu ya... 
Sejenak saja.
Aku berharap setelah semua proses selesai, aku bisa beraktifitas lagi dengan lebih baik, walau tidak sesempurna sebelum aku sakit. 
Setidaknya aku bisa bernyanyi lagi tanpa tersengal, bisa kembali bercengkerama dengan alam, menikmati indahnya hutan, air terjun, pantai, bisa bepergian lagi, bekerja lagi, melakukan pelayanan lagi dan menjumpai kalian lagi dengan tulisan tulisanku, yang lebih baik tentunya.
Sampai bertemu lagi ya.
Peluuuuk semuuaaa.... 

Senin, 19 November 2012

Empleng



Ini sedikit cerita tentang masa kecilku. 
Kalian mungkin tidak pernah mendengar makanan yang bernama 'empleng'. 
Itu istilah ayahku, untuk sejenis cemilan berbentuk bundar tipis, yang terbuat dari adonan terigu yang dicampur air dan sedikit garam. 
Adonan lalu dipanggang, bukan untuk mengurangi makanan gorengan,  tapi karena harga minyak sayur kadang tidak terjangkau bagi kami. 
Kalau sedang ada sedikit uang, garam bisa diganti dengan gula, sehingga rasa empleng jadi lebih manis dan lebih enak. 
Dan setahun mungkin sekali, saat ibu mampu membeli susu kental manis, empleng asin dimakan dengan dicocol susu. Lezat. 
Perpaduan asin dan manisnya maknyus.
Jika empleng tidak habis, ibu tidak pernah membuangnya, tetapi akan memotong motongnya menjadi potongan kecil, kemudian dijemur sampai kering. 
Lalu ibu akan menggorengnya dengan menggunakan pasir yang sudah dicuci bersih. Sehingga menjadi kerupuk. 
Kami memakannya sebagai teman nasi. Nasi hangat yang dikepal kepal dan ditaburi sedikit garam. 
Kalau ada rejeki, ibu akan membeli terasi, dan membuat nasi orek terasi. Harumnya membuat cacing cacing di perut kami berjoged kegirangan.
Kami tidak berharap makan ayam, mampu membeli sebuah telur saja sudah bisa menjadi makanan mewah bagi kami. 
Kalau kalian pikir bagaimana mungkin sebuah telur cukup untuk dimakan 5 anggota keluarga kami, itu mudah saja.
Ibuku sangat ahli dalam hal ini. 
Telur akan dikocok, lalu dicampur terigu dan garam, kemudian di dadar. Telur akan mengembang dan menjadi besar, tebal. Sehingga cukup dibagi lima. 
Kami hanya harus memakannya segera sebelum telur dadar terigu menjadi dingin dan mengeras. 

Ibuku juga pandai menjahit. 
Dari baju sampai celana, dari sprei sampai tas sekolah, semua hasil jahitan ibu. Yang dibuat dari potongan kain perca yang tersisa. 
Hanya kaus kaki yang tidak bisa dibuat ibu. Sehingga kami harus  hati hati merawatnya. Setiap kali kaus kaki berlubang, ibu akan menjahitnya. Sampai akhirnya jahitan terlalu banyak dan kaus kaki kami tidak berbentuk lagi. 
Jika kaus kaki mulai merosot karena karetnya sudah tidak elastis lagi, ibu akan memberi kami karet gelang yang dipasangkan di kaus kaki, sehingga kaus kaki tidak merosot turun dan kami tidak kena hukum.

Karet gelang tidak hanya menolong kaus kaki kami, tapi juga punya fungsi lain. Kalau dililitkan di ujung pensil, sampai berbentuk pentolan bulat, bisa digunakan sebagai penghapus. Walau hasilnya sedikit kotor. Tapi tidak mengapa.

Kalau kalian bertanya, apakah kami tidak menangis meratapi kehidupan kami kala itu. Jawab kami, 
"Tidak!! Tidak ada air mata, karena kami hanya anak anak. 
Dan anak anak tidak mengerti kesusahan hidup. 
Bagi anak anak hidup adalah kegembiraan dan keceriaan."

Kini hidup sudah jauh berubah. 
Suatu hari sepulang kerja, aku mampir membeli 'flat bread'. 
Lalu kuberikan pada ibu. 
Kutanya padanya, apakah ibu masih ingat 'empleng'?
Ini empleng jaman sekarang bu. 
Terbuat dari terigu dicampur kentang, dipanggang tipis berbentuk bundar, setelah matang lalu diisi dengan irisan ham dan keju leleh.
Rasanya enak.
Tapi bagiku, empleng buatan ibu, tetap nomor satu....

Ibu lalu memelukku. Airmata bergulir di wajahnya.
Perlahan kubelai rambut peraknya, seraya berkata,
"Bu, aku membeli ini bukan untuk membuat ibu menangis...
Tidak ada yang kusesali dari masa lalu kita bu.
Aku hanya ingin menunjukkan, walau ada sejuta empleng, dengan sejuta nama dan sejuta rasa, tapi empleng kita dan sejarahnya, tetap menjadi yang paling lezat bagiku. 
Karena dibuat dengan cinta ibu...." 

"We can't choose our family but we can choice our future"
 

Sabtu, 17 November 2012

Breaking dawn

Setahun berlalu sudah.
Semua cerita pasti ada akhirnya. 
Dan kini akan kututup buku hidupku yang berisikan ingatan tentang dia.


Ingatkah kamu setahun lalu, saat kita bersama pada suatu masa.
Sebuah lagu menemaniku sepanjang kebersamaan kita. 
Lagu bagian pertama.
Lalu tiba tiba, kita berpisah dan kamu menghilang tanpa kabar berita.
Dengan berbagai cara kucari di mana kamu berada. 
Tapi tak kutemukan juga. 
Berbagai jenis pesan kukirim, dan aku tahu, kamu menerimanya, karena tak satupun yang tertunda. 
Tapi tak satupun jawaban kuterima. 
Aku tidak tahu lagi, kemana harus mencari berita. 
Karena kita tidak punya teman yang sama. 
Aku juga tidak tahu di mana keluargamu berada. 
Dan aku baru saja menyadarinya. 
Itu berarti tak ada tempat bagiku untuk mengajukan sebuah tanya.
Mengapa kamu pergi tanpa sapa, apakah kau marah karena aku bersalah?
Atau kamu menghindar karena tak dapat lagi menahan getar cinta, 
yang menurutmu jatuh tidak pada tempatnya?

Sampai akhirnya...
Beberapa hari lalu tanpa sengaja, aku mendapat berita.
Bahwa kamu sudah tiada....
Aku jelas tidak percaya begitu saja.
Walau di jejaring sosial kamu tidak pernah memperbarui data, tapi ponselmu selalu menyala.
Ternyata bunda tercinta yang selalu menjaganya, agar beliau dapat selalu menerima cerita.
Tapi mengapa sang bunda tidak memberitahu aku yang selama ini bertanya?

Sang bunda bercerita,
awalnya beliau ingin memberitahu, sampai kemudian waktu berlalu 
dan satu persatu teman putranya, melanjutkan hidup seperti sediakala. 
Sementara sang bunda merasa ditinggalkan, sepi dan merana. 
Hanya pesan singkatku yang masih selalu ditunggunya, karena membuatnya merasa putranya masih ada.
Tak peduli pesan singkatku berisi tanya, amarah atau canda. 
Hanya itu yang tersisa baginya untuk mengenang sang putra.
Bahwa ada seorang gadis di sana, yang selalu menunggu kehadiran putranya.
Kalau gadis itu tahu, putranya sudah tiada, dia takut gadis itu akan melakukan hal yang sama dengan teman teman putranya. 
Pergi meninggalkan dia.

Ah bunda, kini aku tahu hatiku terluka tapi tidak sepedih yang kau rasa.
Dan memang, setahun ini cukup kiranya bagiku untuk berhenti bertanya. Tekadku sudah bulat, dengan atau tanpa jawab yang kuterima, semua tentangmu sudah harus sirna.
Mengetahui bahwa kamu masih ada atau sudah tiada, bagiku tidak lagi menjadi berbeda.
Maafkan aku bunda, 
karena aku juga melakukan hal yang sama dengan teman teman putramu tercinta, 
walau dengan alasan yang berbeda.
Aku melanjutkan hidup dan berjalan ke muka.
Setahun kiranya cukuplah sudah hatiku menderita.
Dan lagu ini, adalah lagu yang menutup akhir cerita.
Lagu bagian ke dua...

Jumat, 16 November 2012

Separuh aku




Namaku Joan, tapi teman teman memanggilku Jon... 
Kata mereka aku mirip lelaki. Tomboy.
Rambutku selalu kupotong pendek, karena gerah dan tidak nyaman rasanya kalau ada rambut yang menyentuh tengkukku. Dari kecil aku sudah punya langganan tukang cukur sendiri. Yang namanya tukang cukur sudah pasti bukan di salon atau barber shop.
Tukang cukur langgananku engkong Makmun namanya. Dia tahu persis potongan yang kumau. Kerjanya juga cepat, rapi dan murah. Hanya lima ribu! Lumayan, aku masih bisa mengantongi duapuluh ribu sisa uang pemberian ibuku. 
Kadang ibu suka marah, karena aku tidak mau memanjangkan rambutku sedikit saja. Tapi dengan trik kuno, ibu selalu tertipu. Kalau rambutku panjang, nanti bisa kena kutu dan berketombe, cukup itu saja alasanku pada ibu. 

Aku juga lebih suka memakai celana pendek dan kaos oblong, semakin belel, semakin adem. Robek sedikit tidak masalah. Masalah baru timbul ketika aku mendapatkan menstruasi pertamaku. Memakai pembalut tidak bisa membuatku bergerak bebas. Ribet. Dan seminggu itu moodku jelek sekali. Semua temanku akan menjauh supaya tidak jadi sasaran omelanku. Hanya sahabat kecilku si Unuy, yang tidak ikut menjauh.

Aku juga tidak suka memakai bra, terikat di dada membuatku nafasku sesak. Untungnya payudaraku kecil, seperti tutup gelas. Jadi cukup memakai singlet sebagai baju dalam, beres. Walau laki laki, dada Unuy lebih besar dari payudaraku. Hihihihi.  

Aku tidak punya teman perempuan, bagiku mereka terlalu banyak bicara, cengeng, manja, tidak asik berteman dengan mereka. 
Teman laki lakiku lebih banyak. Aku suka main bola bersama atau sekedar nongkrong di pos ronda. 
Kadang aku juga suka berkelahi, biar ceking begini, aku ikut karate dan sudah ban hitam. Tapi aku berkelahi hanya untuk membela yang lemah.

Biasanya aku berkelahi kalau ada orang yang mulai memanggil Unuy dengan sebutan banci. Unuy alias Julianto, bukan banci, dia hanya sedikit kemayu, gerak tubuhnya gemulai bak penari. Aku saja tidak bisa berlaku selembut itu. Unuy sangat baik padaku, dia sangat mengerti aku, dia juga sangat sabar, tidak mudah marah, tidak pernah berkata kasar, bicaranya halus. 
Sementara aku, emosi'an kata Unuy. Berangasan. Ga sabaran. Dan kepinginnya 'nonjok' siapa saja yang bersikap tidak adil dan kurang ajar. 

Sekarang aku sudah jadi wanita dewasa, tapi gayaku tetap maskulin. Yang berubah hanya potongan rambutku. Karena engkong Makmun sudah lama meninggal. Kerjaku sehari hari mengurus pembangunan proyek. Baik proyek apartemen, mall atau perumahan. Kadang aku harus berpergian lama, jika ada proyek di luar kota. Karena itu aku jadi jarang bertemu Unuy.

Unuy sendiri sudah jadi perancang muda. Desain busananya banyak digemari artis ibukota, bahkan sudah beberapa kali Unuy ikut pagelaran di mancanegara. Walau mulai mendunia, Unuy'ku tetap Unuy yang dulu.
Esok rencananya kami mau bertemu, rinduku sudah membuncah tumpah ruah.

Keesokan harinya, kukenakan kemejaku yang terbaik dan kusemprotkan sedikit parfum import yang dihadiahkan Unuy di hari ulang tahunku, 3 tahun yang lalu. Parfum yang tidak kunjung habis, karena aku hanya memakainya sesekali. Terutama jika hendak bertemu Unuy. 

Entah mengapa, hari ini jantungku sedikit berdebar. 
Ketika aku tiba, Unuy sudah ada di sana. Tapi dia tidak sendiri.... 
Di sebelahnya duduk seorang lelaki tampan dan gagah. Kontras sekali dengan Unuy'ku yang sedikit tambun dan lembut. 
Laki laki ini pasti akan dijodohkan lagi denganku. Unuy tidak pernah percaya kalau cintaku sudah kuserahkan untuk seseorang.

Unuy mencium pipiku, dan mengenalkan aku pada lelaki itu.
"Joan, ini Vicko...hmm dia kekasihku.." kata Unuy sambil melirik mesra pada lelaki itu, dan dia membalasnya dengan senyuman manis. Aroma hormon endorphin dari pasangan yang sedang kasmaran mengambang jelas di udara.
Mendadak rasanya ada yang menohok ulu hatiku, membuatku perutku mual dan perih.
Ya... aku mungkin mirip lelaki, tapi aku bukan lesbian. 
Aku jatuh cinta pada Unuy sejak dulu. Karena bagiku, hanya dia yang bisa mengerti aku, menerimaku apa adanya, membuatku merasa berarti dan berguna ketika bisa melindunginya. 

Unuy cintaku, sahabat kecilku, 20 tahun sudah kupendam semua rasa ini. Tak terbayangkan bagiku akan ada lelaki lain yang mampu menggantikan tempatmu di hatiku, yang bisa membuatku jatuh cinta lagi.
Unuy cintaku, sampai kapanpun aku akan tetap mencintaimu, membelamu. Katakan pada Vicko, jika dia menyakiti hatimu, dia akan berurusan denganku.

Mungkin ini yang namanya patah hati. Belum pernah aku terluka sedalam ini. Tanpa terasa airmataku bergulir jatuh. Airmata pertamaku.
Dari teras cafe tua ini, sayup terdengar petikan sebuah lagu... 

Dengar laraku, suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku dirimu...

Kamis, 15 November 2012

Kuduslah kasihmu Dokter



Jemari yang tengah kugenggam ini adalah jemari yang telah merawatku hampir 20 tahun lamanya. Jemari ini pernah menyayat tubuhku, menyembuhkan lukaku dan memberiku kehidupan baru. Jemari ini adalah perpanjangan tangan Tuhan untukku. 
Jemari ini sekarang lunglai, tak ada tenaga yang mengalir sampai ke ujung jari. Jemari ini bahkan tak dapat membalas genggaman tanganku. Kupandangi wajahnya, wajah yang sudah menjadi ibu bagiku. Kuusap pipinya, kerut wajahnya, dan sudut bibirnya yang kini berbentuk aneh. Dia menatapku, tapi tidak mengenaliku, kosong. Belum pernah aku merasa sepedih ini.

Aku tahu, bagi orang dengan aktifitas tinggi seperti dia, yang tidak punya batasan jam kerja, 'hidup' seperti ini bukanlah 'hidup', karena stroke sudah merenggutnya. 
Dengan terbata, kupanjatkan sebuah doa, entah doa yang benar atau salah.
"Tuhan, tolong berikan kesembuhan baginya, atau jika ini adalah saatnya, tolong jangan perpanjang penderitaannya."

Kakiku lemas, airmataku tak terbendung lagi. Aris putranya, memapahku keluar dari ICCU. Berusaha menenangkanku, walau aku tahu hatinya jauh lebih galau dariku.
"Jangan menangis di depan mama, kak..."
Dengan tertatih, kutinggalkan ruangan itu. Separuh jiwaku tertinggal di sana. 

Pagi ini, aku sudah bersiap untuk mengunjunginya lagi, sudah empat hari aku tidak membezuknya. Kesehatanku juga sedang kurang baik, beban pikiran ini memperberat kerja jantungku. 
Ketika kuraih kunci mobil dari gantungan, ponselku berbunyi. Kulihat nama yang tertera di layar 'Aris calling....'
Kuangkat telp, seraya berkata,
"Ka'hanny baru mau berangkat ke sana Ris..., Aris mau di bawain apa?"
Hening, tak ada jawaban dari sana, kutunggu sejenak, sebelum akhirnya kudengar suara parau, sengau dan terbata, berusaha menyebut namaku...
"Haaahhnnniii...."
Aku tertegun, terpana, belum pernah kurasa pagi bisa seindah ini, hanya karena mendengar sebuah suara, suara itu bak suara malaikat bagiku. 
Dan aku melanggar janjiku pada Aris, untuk tidak menangis di depan mamanya.

Aku tahu, selalu ada harapan dalam hidup...
Cepat sembuh ya mba Fit... dokterku... ibuku...
Terimakasih Tuhan, terimakasih...

Senin, 12 November 2012

Aurora




Di antara sekian banyak mahasiswa baru, gadis itu sangat menarik perhatianku. Bukan hanya karena ia cantik, kulitnya putih, matanya bulat dan bibirnya merah walau tanpa pulasan lipstik. 
Tapi terlebih karena gayanya yang santai dengan rambut dikuncir, kaus oblong dan jeans belel, dia tampak  begitu alami dan sederhana. Tapi di sebelahnya selalu ada bocah tengil itu. Yang selalu menjaganya bagai bayangan.
Aku ingat ketika hari pertama program pengenalan kampus, aku bertanya siapa namanya. 
Dia menjawab, “Octavia, kak."
Bocah tengil di sebelahnya nyeletuk, "panggilannya 'Oot'  kak."
Pipi gadis itu langsung bersemu merah. Cantik sekali.
Kuabaikan celetukan bocah tengil itu. 
Kutanya lagi, apa cita citanya (ku yakin dia akan menjawab ‘jadi arsitek’ karena itu jurusan kami) tapi ternyata, dia menjawab,
“melihat aurora kak…”
Hmmm…cita cita yang aneh pikirku. 
Lalu apa hobbymu, tanyaku lagi.
Bocah tengil itu mendahului menjawab, 
“mancing kak! mancing bersin pakai kilikan tisyu."
Mata bulat itu melotot dan jemarinya melayangkan cubitan bertubi tubi ke lengan bocah tengil itu, bocah itu mengaduh-aduh. 

Bocah tengil itu, namanya Dani. Mengingatku samar samar pada sebuah nama dari masa kecilku. Sebetulnya dia tidak tengil, hanya jahil atau mungkin dia sebenarnya baik, hanya aku saja yang iri. Iri pada kedekatan mereka berdua.

Dani dan Via, mereka bersahabat sejak kecil,  karena itu mereka begitu dekat. Via yatim piatu, kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, hanya Via kecil yang berhasil selamat dari petaka itu. Via dibesarkan neneknya dan tumbuh menjadi gadis jelita yang membuat anak laki laki membunyikan siulan siulan nakal untuk menggodanya. Karena itulah Dani, selalu mendampingi dan menjaganya agar tidak ada yang berani menggoda sahabat kecilnya.

Aku sendiri, pendatang baru di kota kembang ini. Tiga tahun lalu aku datang untuk kuliah di sini. Aku berasal dari kota apel yang sejuk. Ayahku membesarkan aku sendiri karena kedua orangtuaku sudah berpisah sejak aku kecil. 

Seiring waktu, aku mulai dekat dengan Via, tentu saja sulit untuk mencari waktu berdua saja dengannya, karena pengawalnya itu selalu menjaganya. Hingga suatu hari, aku berhasil 'menculik' Via dan mengajaknya melihat keindahan malam dari ketinggian, di selatan kota ini. Berdua kami berbaring di atas rumput, memandang taburan bintang di pekatnya langit malam. 

"Kenapa kamu ingin melihat aurora Vi?", tanyaku memecah keheningan.
Kudengar dia menarik nafas panjang, dan berkata,
"Ketika aku kecil, kalau aku bertanya pada nenekku tentang ayah dan ibu, nenek akan bercerita tentang pendar cahaya di langit, ayah dan ibuku adalah cahaya itu. Setelah sedikit lebih besar, aku tahu pendar cahaya itu bernama aurora, hanya saja aku tidak dapat melihatnya di sini. Aku harus pergi ke negeri yang jauh. Tapi setelah aku mengerti tentang 'kematian' aku tahu, bahwa ayah ibuku bukanlah pendar cahaya. Tapi itu tidak mengurangi harapanku untuk dapat melihat aurora kelak."

Aku terdiam. Dalam hatiku ingin berkata, akan kuajak kamu menikmati auroramu. Tunggulah, aku akan bekerja keras untuk dapat mewujudkannya. 

Hari dan bulan berlalu, tugas tugas kuliah tingkat akhir cukup membuatku sibuk. Sehingga waktuku untuk Via sedikit berkurang. Sampai suatu hari aku mendengar Via terjatuh dari motor ketika sedang dibonceng Dani. Aku langsung menuju rumahnya. 
Neneknya menyambutku, dan menjelaskan bahwa Via tidak apa apa, tidak terluka. Dani yang terluka. Via sedang di rumah Dani sekarang. Inilah kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah Dani. 
Sebuah rumah tua yang masih terawat dengan baik. Rasanya seperti dejavu. Halaman berumput hijau, deretan melati di teras, batu batu yang berbunyi khas saat terinjak dan sebuah pohon mangga dengan kursi besi tua yang diletakkan bawahnya. 

Kedatanganku disambut Via yang langsung mengajakku masuk. Di ruang tamu kulihat Dani terbaring di sofa dengan luka luka di lutut, siku dan dahinya. Selebihnya dia baik baik saja. Tak lama kemudian, seorang wanita setengah baya keluar dari dalam, kupikir beliau pasti ibunya Dani, sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi entah kapan dan di mana. Beliau tertegun menatapku dan dari bibirnya terucap 'Angga'....
Tiba tiba ruangan menjadi hening, semua terdiam, terkejut. 
Wanita itu perlahan mendekatiku dan mengulurkan lengannya memelukku...
"Angga anakku...."

Sembilan belas tahun yang lalu, kedua orangtuaku berpisah. Aku yang masih berusia 4 tahun ikut ayahku, ibuku tetap tinggal bersama adikku yang waktu itu masih berusia satu tahun, Dani....
Ya, ternyata Dani adalah adikku. Lalu, ibu dan Dani mengajakku tinggal bersama mereka. Ibu dan ayahku sama sama tidak menikah lagi setelah perpisahan mereka.

Aku tahu, Dani bukan hanya sahabat kecil Via, tapi juga sangat mencintainya. Dan aku tidak mau bersaing dengan adikku sendiri. Kuliahku sudah selesai dan aku berencana untuk bekerja di luar negeri. Menjauh dari semua yang aku cinta.

Dan di malam tahun baru ini, aku mengajak Via keluar untuk yang terakhir kalinya. Saat di mana semua tempat menjadi begitu riuh dengan terompet dan kembang api, aku dan Via mendatangi tempat pertama kali aku menculiknya dulu, di selatan kota, di ketinggian ini. Dari kejauhan tetap terdengar riuh dan gemerlap kota menyambut tahun yang baru. Tapi di sini, hanya ada aku, Via dan heningnya malam. 

"Vi, aku pernah berjanji dalam hatiku, ketika pertama kali kita datang ke tempat ini. Saat kamu bercerita tentang "aurora"mu. Betapa inginnya, suatu hari nanti aku mengajakmu melihat aurora yang sesungguhnya. Aku akan bekerja keras untuk mewujudkan hal itu. Tapi untuk sementara ini, tulislah doa dan kerinduanmu pada orangtuamu di lampion lampion ini, lalu kita terbangkan bersama sama ya..."

Malam itu, malam terakhir aku bertemu Via, tiga hari kemudian aku berangkat menuju ke belahan bumi yang lain. Harus kulepaskan semua yang aku cinta, dan berharap waktu dapat menyembuhkan semua luka. karena itu aku hanya mengirimkan kartu pos pada keluarga yang baru sejenak kumiliki. 
Satu satunya kartu pos yang kukirimkan untuk Via, bergambar aurora. Aku tidak pandai merangkai kata. Hanya beberapa kalimat yang kutulis.


Dear Oot..
Malam ini, aku melihat aurora. Indah sekali. Kuharap suatu saat nanti, aku akan kembali ke sini bersama denganmu, mewujudkan cita citamu. Maaf kalau aku mendahului menikmati indahnya aurora ini sendiri.
Salamku untuk Ibu, Dani dan keponakan kecilku.

Hari ini, setelah lima tahun aku pergi, aku kembali menjejakkan kaki di tanah airku. Waktu terlama bukan ketika pesawatku melintasi separuh bumi, tapi perjalanan dari bandara sampai ke rumah ibuku. Jetlag tidak terlalu mengangguku, kerinduan yang membuncah lebih membuatku tidak karuan. Aku tidak mengabari kedatanganku yang tiba tiba ini.
Kehadiranku disambut senja dan rumah yang sepi.

Hanya sesaat aku menunggu, sebelum ibu keluar. Ini kali ke dua ibu tertegun melihat kedatanganku. 
"Angga anakku...." kata kata yang sama dengan yang pernah beliau ucapkan dulu.
Kupeluk dan kulepaskan kerinduanku pada ibu, baru kulepaskan pelukanku ketika aku menyadari hanya ada ibu sendiri. Perasaanku mulai tidak enak. Kutanya di mana Dani. Dani belum pulang, masih di kantor, jawab ibu.

Lalu kutanya Via dan keponakan kecilku.
Ibu tidak menjawab, beliau terdiam lama. Lalu kulihat airmata menetes di pipinya.
"Via, tidak pernah menikah dengan Dani, nak. Dani memang mencintainya, tapi Via mencintaimu, Angga. Setahun setelah kamu pergi, Via sakit dan Tuhan memanggilnya pulang. Kami tidak dapat mengabarimu, karena kamu tidak meninggalkan alamat di kartu pos yang kamu kirim."

Aku diam terpaku mendengar cerita ibu. 
Ibu masuk ke dalam dan keluar dengan selembar kartu bergambar lampion terbang.


Dear Angga...
Kalau kamu membaca kartu ini, berarti aku sudah menjadi pendar cahaya, berkumpul bersama ayah, ibu dan nenekku.
Tapi jika kamu rindu padaku, terbangkan saja lampion lampion buatan tanganmu, tuliskan doa dan kerinduanmu untukku. Seperti yang pernah kita lakukan dulu.
Luv u
'Oot' 

Tiba tiba hatiku hampa....

(gambar di copas dari google.com)

Selasa, 06 November 2012

Usia bukanlah sekedar angka



Usia bukanlah sekedar angka...
Usia menunjukkan banyaknya ungkapan syukur yang harus kita panjatkan pada Sang Maha.
Usia menunjukkan banyaknya berkat yang telah Dia berikan dalam hidup kita.
Usia menunjukkan banyaknya proses kehidupan yang telah kita alami dan menjadikan kita lebih dewasa.
Usia menunjukkan banyaknya cerita, suka, duka, canda, tawa, tangis, yang pernah kita bagi dengan orang orang terdekat dalam hidup kita.
Usia menunjukkan banyaknya kesalahan yang pernah kita perbuat. 
Usia menunjukkan banyaknya hari hari yang telah kita lalui.
Usia menunjukkan banyaknya pelajaran dan pengalaman hidup yang harus kita pahami.
Karena itu, bagiku
Usia bukanlah sekedar angka.... 
Maka, jadikanlah hidupmu indah dan tiada percuma..

(Selamat jalan sobat...sampai kelak kita bertemu lagi)

Kamis, 01 November 2012

Bowi si kerbau dungu

Bowi adalah seekor kerbau liar yang tinggal di sebuah padang rumput di tepi hutan. Seperti kerbau kerbau lainnya, bowi hanya menggunakan tenaganya untuk mencari makan. (kalian belum pernah melihat ada kerbau yang jadi arsitek bukan?)
Bowi tinggal bersama dengan hewan hewan lain. Di antara hewan hewan itu, ada seekor srigala yang cacat namanya jedi. Kakinya hanya tiga yang sempurna, sementara 1 kaki lainnya hanya berbentuk tungkai kecil yang menjuntai. 
Jedi diterima oleh hewan hewan lain untuk tinggal di sekitar mereka, karena hewan lain kasihan terhadapnya. Mereka berpikir walau dia srigala, mungkin bukan jenis yang buas karena cacatnya itu. 

Bowi dan jedi berteman. Jedi seringkali minta tolong pada bowi untuk memberinya makan.
"Bowi, berilah aku sedikit dagingmu yang lezat itu, kamu tahu, aku tidak bisa berburu seperti srigala srigala lainnya" pinta jedi.
Dengan tujuan membantu teman, bowi memberi sedikit daging kakinya.  Dibiarkannya taring jedi yang tajam itu mengoyak dagingnya.
"Jangan kuatir bowi, aku akan merawat lukamu sampai sembuh" janji jedi.
Hal ini terjadi terus menerus, berulang ulang kali. Tidak hanya daging kaki, bahkan sampai ke tubuhnya perlahan habis dikoyak dan dimakan jedi.

Di tepi hutan, pada sebuah pohon beringin, tinggallah seekor burung hantu tua yang bijaksana. Namanya owly. Owly kerap mengamati tingkah laku hewan hewan yang tinggal di padang rumput itu. Owly tahu bagaimana bowi si kerbau dungu membiarkan dirinya menjadi santapan jedi, srigala cacat itu.
Suatu hari, owly merasa sudah tiba saatnya untuk bicara dengan bowi. Dihampirinya bowi. 

"Hai bowi, kerbau dungu! Sampai kapan kamu akan sadar? Tidak tahukah kamu, bahwa srigala tetaplah srigala. Walau cacat, dia tetap binatang buas, yang gemar memakan daging, dia tidak suka rumput!! Kalau kamu biarkan tubuhmu habis dimakan srigala itu, kamu akan mati pelan pelan! Kamu butuh tubuhmu untuk mencari makan, kamu butuh tenagamu untuk bekerja. Kalau kamu sudah tidak mampu lagi bekerja, siapa yang akan memberimu makan??" nasehat owly.

Owly kemudian memanggil hewan hewan lain yang tinggal di sekitar situ, ada kelinci bertelinga satu, tupai tanpa ekor, monyet bertangan buntung, orang utan tak berjari, dan banyak hewan hewan cacat lainnya.

Owly melanjutkan nasehatnya,
"Lihatlah baik baik mereka hai kerbau dungu! Semua hewan di sini, menjadi cacat karena pernah memberi sedikit daging mereka untuk srigala itu!! Tapi mereka tidak dungu sepertimu, sehingga kejadian ini tidak berulang kali terjadi pada diri mereka. Apakah bukti ini belum cukup untuk menunjukkan betapa dungunya dirimu dan betapa jahatnya srigala itu? Srigala itu tidak bisa hidup bersama kalian. Walau cacat, dia harus tinggal di hutan dan berburu untuk mencari makanannya sendiri. Jangan sampai jatuh korban lagi yang termakan mulut manisnya. Renungkanlah hai kerbau dungu, kita dapat menolong hewan lain, hanya dengan tujuan untuk membuat mereka menjadi lebih baik."

Setelah berbicara, owly terbang dan bertengger lagi di pohon beringin tua.

Tapi kerbau tetaplah kerbau, dungu. Walau begitu banyak bukti nyata di depan mata, bowi tetap tidak percaya kalau jedi sejahat itu. Yang tega mengorbankan hewan hewan lain demi kegemarannya makan daging. 
Bowi kerbau dungu itu, tubuhnya terkoyak di sana sini, dengan luka luka yang dikerumuni lalat, dia bahkan hampir tidak dapat berjalan lagi. Untuk makan sehari sehari, dia menunggu belas kasihan hewan hewan lain yang mencarikan rumput untuknya. 
Kasihan ya?

nb. Kalian pasti tahu ini bukan "fabel" ;)