Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Senin, 19 November 2012

Empleng



Ini sedikit cerita tentang masa kecilku. 
Kalian mungkin tidak pernah mendengar makanan yang bernama 'empleng'. 
Itu istilah ayahku, untuk sejenis cemilan berbentuk bundar tipis, yang terbuat dari adonan terigu yang dicampur air dan sedikit garam. 
Adonan lalu dipanggang, bukan untuk mengurangi makanan gorengan,  tapi karena harga minyak sayur kadang tidak terjangkau bagi kami. 
Kalau sedang ada sedikit uang, garam bisa diganti dengan gula, sehingga rasa empleng jadi lebih manis dan lebih enak. 
Dan setahun mungkin sekali, saat ibu mampu membeli susu kental manis, empleng asin dimakan dengan dicocol susu. Lezat. 
Perpaduan asin dan manisnya maknyus.
Jika empleng tidak habis, ibu tidak pernah membuangnya, tetapi akan memotong motongnya menjadi potongan kecil, kemudian dijemur sampai kering. 
Lalu ibu akan menggorengnya dengan menggunakan pasir yang sudah dicuci bersih. Sehingga menjadi kerupuk. 
Kami memakannya sebagai teman nasi. Nasi hangat yang dikepal kepal dan ditaburi sedikit garam. 
Kalau ada rejeki, ibu akan membeli terasi, dan membuat nasi orek terasi. Harumnya membuat cacing cacing di perut kami berjoged kegirangan.
Kami tidak berharap makan ayam, mampu membeli sebuah telur saja sudah bisa menjadi makanan mewah bagi kami. 
Kalau kalian pikir bagaimana mungkin sebuah telur cukup untuk dimakan 5 anggota keluarga kami, itu mudah saja.
Ibuku sangat ahli dalam hal ini. 
Telur akan dikocok, lalu dicampur terigu dan garam, kemudian di dadar. Telur akan mengembang dan menjadi besar, tebal. Sehingga cukup dibagi lima. 
Kami hanya harus memakannya segera sebelum telur dadar terigu menjadi dingin dan mengeras. 

Ibuku juga pandai menjahit. 
Dari baju sampai celana, dari sprei sampai tas sekolah, semua hasil jahitan ibu. Yang dibuat dari potongan kain perca yang tersisa. 
Hanya kaus kaki yang tidak bisa dibuat ibu. Sehingga kami harus  hati hati merawatnya. Setiap kali kaus kaki berlubang, ibu akan menjahitnya. Sampai akhirnya jahitan terlalu banyak dan kaus kaki kami tidak berbentuk lagi. 
Jika kaus kaki mulai merosot karena karetnya sudah tidak elastis lagi, ibu akan memberi kami karet gelang yang dipasangkan di kaus kaki, sehingga kaus kaki tidak merosot turun dan kami tidak kena hukum.

Karet gelang tidak hanya menolong kaus kaki kami, tapi juga punya fungsi lain. Kalau dililitkan di ujung pensil, sampai berbentuk pentolan bulat, bisa digunakan sebagai penghapus. Walau hasilnya sedikit kotor. Tapi tidak mengapa.

Kalau kalian bertanya, apakah kami tidak menangis meratapi kehidupan kami kala itu. Jawab kami, 
"Tidak!! Tidak ada air mata, karena kami hanya anak anak. 
Dan anak anak tidak mengerti kesusahan hidup. 
Bagi anak anak hidup adalah kegembiraan dan keceriaan."

Kini hidup sudah jauh berubah. 
Suatu hari sepulang kerja, aku mampir membeli 'flat bread'. 
Lalu kuberikan pada ibu. 
Kutanya padanya, apakah ibu masih ingat 'empleng'?
Ini empleng jaman sekarang bu. 
Terbuat dari terigu dicampur kentang, dipanggang tipis berbentuk bundar, setelah matang lalu diisi dengan irisan ham dan keju leleh.
Rasanya enak.
Tapi bagiku, empleng buatan ibu, tetap nomor satu....

Ibu lalu memelukku. Airmata bergulir di wajahnya.
Perlahan kubelai rambut peraknya, seraya berkata,
"Bu, aku membeli ini bukan untuk membuat ibu menangis...
Tidak ada yang kusesali dari masa lalu kita bu.
Aku hanya ingin menunjukkan, walau ada sejuta empleng, dengan sejuta nama dan sejuta rasa, tapi empleng kita dan sejarahnya, tetap menjadi yang paling lezat bagiku. 
Karena dibuat dengan cinta ibu...." 

"We can't choose our family but we can choice our future"