Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Rabu, 22 Januari 2014

titisan 2.... (tiga telaga)

Alkisah pada jaman dahulu kala, ada seorang putri yang jatuh cinta pada seorang pemuda dari keluarga rakyat jelata. Butuh perjuangan keras agar sang pemuda bisa di terima. Tapi ketika akhirnya hari pernikahan yang dinantikan itu tiba, pemuda itu tak pernah datang, dia menghilang entah kemana. Sang Ratu murka dan membuang semua perlengkapan pesta, sang putri menangis hingga airmatanya menjadi telaga...
Telaga yang pertama...
Itulah kenapa dulu orang-orang kerap menemukan perlengkapan dapur dan alat makan di dasar telaga ini. Barang-barang yang konon dibuang Sang Ratu yang sedang dilanda angkara.

Pak Dili berhenti sejenak, dihirupnya sebatang kretek, lalu dia melanjutkan ceritanya.

Di sini, dulunya hanya ada sebuah sungai kecil tempat sang Prabu memberi minum kuda-kudanya. Sang Prabu adalah ayah dari Sang Putri. Dia sangat kecewa karena putri yang sangat dicintainya, disia-siakan begitu saja oleh seorang pemuda. Dengan marah dia menunggang kudanya, pergi keluar istana. Sampai di tempat ini, dia menancapkan tongkatnya, dan ketika tongkatnya diangkat, mengalirlah air yang sangat deras. Dan jadilah sebuah telaga...
Telaga yang kedua..

Pak Dili menatapku. 
Neng itu wangi. Tubuh neng harum. Mungkin neng tidak pernah menyadari, bahwa neng adalah titisan Sang Putri. Karuhun (leluhur/roh nenek moyang) senang neng akhirnya pulang, kembali lagi ke sini. 
Jangan menagis lagi neng... cuma duka yang neng rasa sejak jaman dahulu kala. Sudah waktunya neng berbahagia dan menemukan cinta sejati dari seorang pria.

Aku tertegun mendengar cerita lelaki tua ini. Tentu saja aku tidak percaya begitu saja pada kata-katanya.
Aku ke sini memang sendiri, tapi bukan karena patah hati. Melainkan hanya ingin menyepi.
Pak...saya minta maaf, tapi saya sudah dua minggu di sini. Saya harus kembali. Tapi saya pasti akan ke sini lagi.
Neng... tahukah bahwa ada telaga ketiga? Telaga itu belum neng datangi kan?
Pak Dili lalu melanjutkan ceritanya.

Sejak ayah bundanya marah, Sang Putri jadi sering menyendiri. Dia tidak lagi menangis, air matanya sudah kering. Dia hanya suka bernyanyi untuk menghibur diri. Tempat dia menyendiri itulah telaga yang ketiga. Entah kenapa disebut telaga padahal tak ada air di sana. Mungkin maksudnya telaga duka, bapak juga tidak tahu. 
Konon di tempat itu, dahulu orang suka mendengar suara wanita bersenandung, menyanyikan lagu dengan nada yang begitu sedih.
Pulanglah setelah neng kunjungi telaga ketiga. 
Bapak juga tidak tahu, apakah telaga dalam cerita itu masih ada dan seperti apa sekarang kondisinya.
Bapak hanya pernah mengunjunginya sekali sewaktu bapak kecil. Cerita inipun bapak tahu karena kakek bapak dulu suka bercerita. 
Konon, kata kakek, kelak Sang Putri akan kembali dalam rupa yang berbeda, tetapi senyum ceria dan tawanya membuat semua karuhun di sini berbahagia. Karena Putri yang mereka puja sudah bisa tertawa lagi.

Pak..bukan saya tak ingin mengunjungi telaga ketiga, tapi cuaca sedang buruk sekali. Mungkin di lain waktu saat saya kembali, saya akan mengunjunginya.
Dengan berat hati, aku pamit pada pak Dili. Mata tuanya berkaca-kaca. Kutahan tangisku, agar tidak membuatnya tambah berduka.

Setibanya di kota, semangatku malah hilang entah kemana. Diriku seperti lilin yang nyalanya perlahan padam. Aku pikir ini hanya semacam proses adaptasi dan efek dari nyepi. Kehilangan minat pada peradaban.
Tapi ternyata pada saat yang sama, tepat sehari setelah aku pulang, 90 km dari tempatku berada sekarang, gunung di atas telaga kedua longsor!! Longsorannya menimbun 2 hektar areal kebun teh dan sebagian telaga kedua yang letaknya tepat di belakang kabinku, jaraknya kurang dari 50 meter!! 
Penduduk di sana terpaksa mengungsi. Termasuk pak Dili dan keluarganya. Berita itu kudapat dari Ibu yang menyediakan makanan untukku selama aku di sana. 
Mereka kaget karena sejak puluhan tahun turun temurun tinggal di sana, baru kali ini longsor terjadi. Beruntung tidak ada korban jiwa. Semua pemetik teh telah selesai bekerja dan beberapa pencari rumput untuk pakan ternak, sempat menyelamatkan diri ketika bunyi gemuruh datang dengan tiba tiba.
Aku langsung menelepon ibu, kutanyakan satu persatu kabar anggota keluarga, ibu bilang, Alhamdulillah semua baik baik saja, mereka sedang mengungsi seperti orang Jakarta jika dilanda banjir. 
Dan ketika kutanya kabar pak Dili, ibu menyerahkan telepon genggamnya.
Di seberang sana, dengan sinyal yang kadang tiada, sayup kudengar pak Dili berkata, 
Karuhun sedih neng pulang, sudah ribuan tahun tidak ada lagi canda dan tawa. Dan ketika bahagia itu tiba, datangnya hanya sekejap saja...

Aku kehabisan kata, tak dapat bicara. Airmataku tumpah, tidak menjadi telaga, hanya menjadi sebuah peta, peta yang menunjukkan letak telaga ketiga....

titisan...

Ini bukan pertama kalinya aku datang ke sini, ke sebuah sumber mata air  di tengah hutan, hutan yang mengelilingi telaga. Mata air ini dahulu adalah tempat pemandian para putri raja. Putri dari sebuah kerajaan yang moksa. Kerajaan yang menghilang begitu saja secara gaib. Konon itu menjadi legenda yang diceritakan turun temurun. Bahkan kalian bisa dengan mudah menemukan cerita itu di internet.  
Kali ini aku datang bersama Vino kekasihku, yang sedari tadi sibuk mengambil gambarku, namun aku pura-pura tidak tahu. 
Kami ke sini hanya untuk jalan jalan saja, karena kami penyuka hutan.

Dan hari ini aku bertemu dengan orang lain di kolam pemandian kecil ini. Tempat ini memang bukan tempat yang sering dikunjungi. Biasanya orang ke sini hanya di hari hari tertentu untuk bersemedi, membuat sebuah permintaan atau karena mendapat petunjuk. 
Aku melihat seorang ibu yang baru selesai mandi. Ibu yang ditemani jagawana, penjaga hutan. Sepertinya beliau baru menyelesaikan sebuah ritual. Ibu itu terkejut saat melihatku, dengan terbata dan penuh hormat dia menyapa, 
"Tuan Putri....!!"
Lalu beliau menangis seraya memelukku.Tentu saja aku terkejut bercampur heran. Kubalas pelukan ibu tersebut. Puk puk..  
Saya bukan siapa-siapa bu..saya bukan tuan putri, jawabku tenang.

Sambil terisak ibu itu bercerita, bahwa hidupnya begitu pahit karena kerap disakiti. Dan saat dia berdoa mohon petunjuk agar keluar dari masalahnya, dia mendapat perintah untuk pergi ke mata air ini dan di sini dia akan bertemu seorang wanita titisan Sang Putri. Wanita itu adalah penanda bahwa tirakatnya akan terkabul. Dan ibu itu bertemu denganku.
Aku hanya menyimak ceritanya tanpa tendensi apa apa.

Setelah ibu itu pulang, aku masih tinggal sejenak di sana. Kubasuh wajahku dengan air pemandian, segar rasanya. Tak lama kemudian Vino mengajakku kembali sebelum kabut turun. Di sepanjang perjalanan pulang aku mencium aroma bunga yang sangat harum. Entah darimana asalnya, karena di sekitar kami hanya ada pepohonan yang tak berbunga. 
Berkali kali aku menegaskan aroma itu. Ya aroma itu ada... 
Saat itu aku tak berani bertanya apakah Vino juga mencium aroma yang sama denganku. Sampai di tepi hutan, baru aroma itu menghilang.
Dalam hatiku membatin, 
"Siapapun kamu, darimanapun asalmu, terimakasih sudah menemani perjalananku. Sekarang aku pamit dulu...."

Belum selesai aku berucap, tiba tiba kakiku mendadak lemas, aku nyaris jatuh kalau Vino tidak segera menangkap tubuhku. Dia mendudukkanku dan menjadikan tubuhnya sebagai tempatku bersandar. Tubuhku terasa ringan seperti sedang berada di awang awang, antara sadar dan tidak, aku mendengar sebuah suara merdu  berbisik di telingaku, 
Jangan pulang...jangan pulang...
Aku begitu takut, aku harus pulang, aku suka di sini, tapi ini bukan rumahku. Aku berusaha bangkit, tapi entah kemana semua tenagaku. 
Bantu aku Vin, pintaku.
Kita istirahat dulu, jangan dipaksakan, jawabnya.
Tidak, kita harus segera pulang, kataku berkeras. 
Aku tak bisa mengatakan padanya kalau aku mendengar bisikan itu. Bisa bisa dia menganggapku sudah gila. 
Tertatih kucoba melangkah, pelukan Vino tak lagi menenangkanku seperti biasanya. Tiba tiba hujan turun begitu derasnya disertai angin kencang yang membuat tubuhku menggigil. 
Suara itu kembali terdengar, jangan pulang...jangan pulang..
Kukuatkan hati untuk menjawab, kamu bisa meghalangiku agar tidak pulang, kamu bisa mengambil tenagaku, bisa menurunkan hujan, tapi tidak bisa mengambil semangatku. 

Kuterobos hujan dengan sisa sisa tenaga yang ada. Seluruh tubuh kami basah kuyup setibanya di pintu keluar. Tak sempat mengganti baju lagi, kami langsung masuk ke mobil dan kembali rumah kabin.

*****

Ada apa tadi? tanya Vino sambil mengeringkan rambut ikalnya yang basah. Wajah tampannya menatapku dengan serius.
Bagaimana aku harus bercerita? Bahwa kekasihnya adalah seorang indigo? Yang suka mendengar, melihat dan merasa apa yang tidak orang lain rasa? Bahwa seringkali penglihatan dan mimpiku menjadi kenyataan?
Aku tak yakin Vino bisa menerima semua itu dan aku tak mau Vino menganggapku gila, tak masuk akal lalu pergi meninggalkan aku setelah mengetahui semuanya

Jangan pulang..., bisikku di telinganya.
Pulang kemana? tanyanya sambil memandangku aneh. 
Aku tak bisa menjawab, kurebahkan kepalaku di dadanya, supaya dia berhenti menatapku.
Kalau kamu belum mau cerita, tak apa, katanya sambil mengecup bibirku lembut. 
Vino memelukku sepanjang malam. Kunikmati hangat tubuhnya dan kubiarkan pikiranku berkelana sebelum aku benar-benar terlelap.

*****

Di alam yang berbeda, di sebuah kerajaan yang moksa dari dunia, seorang Putri memandang ke dalam sebuah perigi yang berisi air, terlihat olehnya sepasang anak manusia yang sedang tidur berpelukan. Anak manusia yang berani membantahnya dan tidak mau tinggal di kerajaannya. Anak manusia yang ternyata bisa mendengar dan berkomunikasi dengannya. 
Dan Sang Putri tahu, gadis ini adalah pilihan yang tepat untuk menjadi titisannya....

Senin, 13 Januari 2014

saltum..

Serius, niatnya pengen nyepi. Tapi kaya kenal diri sendiri aja, mana tahan kalo liat hutan ga blusukan. Akhirnya kan saltum. Ga bawa equipment yg pas. Alhasil hiking cuma bersandal jepit, makanya jadi santapan pacet yg udahannya bikin gatel ga hilang2. Untung masih bawa jaket bulu angsa dan goretex. Atas sih anget, tapi bawah kedinginan...hahahaha...
Ohya, moto "suka males napas tapi ga pernah males mandi" akhirnya terpecahkan. Kabut tebal sampai kaya kapuk dan dacron bertebaran, puutiih semua. Di cuaca kaya gini, aku nyerah ga mandi kuyu. Cuma cuci muka, sikat gigi, keramas, sisanya lap pake tisyu basah hahahaha...kaya meong.
Konon cuaca dingin juga bikin lapar, tapi hal itu ga berlaku untukku. Di tempat dingin aku tahan lapar. Mungkin karena dasarnya aku memang ga bisa bedain lapar, kenyang, kembung atah kepengen pup. Hihihuhi..parah ya..
Hebatnya di sini biar sepi, tetap ada sinyal. Walau hilang timbul. Jadi ga nonton tivi itu ga masalah asal internet jalan terus. Pokoke ini rumus nyepi yg salah total deh.

Minggu, 12 Januari 2014

Si bleki...

Blekiii sini... Jangan berhujan hujan sayang. Apa kamu tidak kedinginan di luar sana. Mata polosnya menatapku takut takut. Bleki sinii...aku punya roti dan nasi untukmu. Aku juga punya susu. Dengan ragu dia mendekat, kulemparkan potongan roti dan dia memakannya dengan lahap. Bleki sayang, apa yg membuatmu takut padaku? Apakah ada manusia yg pernah jahat padamu?
Dia anjing pemburu, tubuhnya kekar seperti kuda, kakinya kokoh, matanya coklat bening seperti madu. Warna bulunya hitam semua, karena itu orang orang memanggilnya bleki.
Dia anjing tak bertuan. Tak ada pemilik resminya. Kalau lapar dia bisa mendatangi rumah siapa saja untuk meminta makan. Bleki bukan anjing yg rakus. Tidak suka mencuri makanan seperti kucing2 di sini. Dia hanya diam menunggu di depan pintu sampai diberi makan. Jika tidak diberi, dia akan pergi ke rumah yg lain. Makanya ketika dia dengan malu malu berdiri di pintu kabinku, aku tahu dia lapar.
Dari sekian banyak anjing di sini, entah mengapa aku suka sekali dengannya. Setiap aku jalan, tiba2 dia sudah berada di tempat yg menjadi tujuanku. Sepertinya dia tahu aku hendak pergi kemana. Ketika aku pulang, dia sudah ada lagi di depan kabin. Lalu kemudian menghilang lagi. Entah pergi kemana atau mengikuti siapa.
Kata mamang penjaga, bleki suka mengantar orang2 sampai ke pos penjagaan di depan sana. Nanti dia akan kembali lagi mengiringi sepeda motor yg masuk ke perkebunan.
Entah kenapa, jika melihat hutan, aku ingin blusukan, dan bleki akan berlari mendahuluiku berjalan.
Tapi bleki pemalu. Kalau aku panggil dia hanya melirik, mendekat sejenak lalu berlari lagi, pergi entah kemana
Sempat terpikir olehku untuk membawa bleki pulang ke rumahku. Makanannya pasti terjamin. Dia tidak akan kelaparan, tidak akan kehujanan, tidur di tempat yg hangat, dan tubuhnya terawat. Tapi bleki akan kehilangan kebebasannya. Dia tidak lagi bisa berlari2 seperti di sini. Tidak ada hutan yg bisa ditelusuri. Banyaknya kendaraan akan membuatnya bingung, stres lalu depresi.
Tiba tiba aku rindu sekali pada chiko anjingku. Kubayangkan kalau chiko kubawa kesini. Dia bisa berlari lepas dan bebas..tidak seperti selama ini, sehari hari hanya di rumah saja. Beberapa hari sekali diajak jalan dengan badan yg terantai supaya tidak lari ke jalan raya. Hiburannya hanya menggoda kucing dan cicak. Chiko tak kurang kasih sayang, cukup makan, tak kurang perawatan, tapi tak punya kebebasan...
Inginku bertanya pada bleki, pada chiko...
Apakah kalian berbahagia? 
Dan dengan jujur harus kuakui, aku ini serakah, aku ingin hidup nyaman seperti chiko tapi ingin bebas seperti bleki...
*ini foto chiko. Dan akhirnya aku berhasil memotret bleki!!

Jumat, 10 Januari 2014

Dadang, Ujang dan Cecep...

Mereka adalah three musketers. Para penjaga perkebunan teh, dan juga penjaga kabin . Ketika aku minta ijin untuk menginap di salah satu kabin yg paling terpencil dan jauh dr jalan yg biasa jadi lintasan manusia, mereka pikir mungkin aku sudah tidak waras.
Karena sejak kabin ini berdiri, belum ada tamu yg menginap hanya seorang diri saja.  Mereka tanya, apa aku tidak takut? Tentu saja tidak.
Awalnya mereka kuatir dan keberatan kalau aku tinggal di sana. Mereka menyarankan kabin lain yg lebih dekat dgn rumah mereka. Aku berusaha meyakinkan, bahwa aku memang menginginkan keheningan agar bisa menenangkan diri. Tapi mereka malah berpikir jangan2 aku hendak bunuh diri!! Hahahaha...
Tapi akhirnya mereka mengijinkan juga aku tinggal di sini, dengan banyak pesan sponsor tentunya.
Aku senang di sini. Musim penghujan kali ini, cuaca tak tentu. Bisa seharian kabut pekat menutupi pandangan, disertai hujan lebat tak henti-henti. Tapi kadang hangatnya mentari juga menyinari sejak pagi.
Menyepi bagiku bukan berarti diam di kamar saja. Aku tetap suka menjelajah, keluar masuk hutan, naik turun lembah. Mendatangi tempat2 bersejarah yg memiliki kisah.
Apalagi setelah mereka bercerita, ada sebuah rumah tua yg sudah ratusan tahun umurnya. Kosong tak ditempati, tak terawat dan mulai rusak di sana sini. Padahal terbuat dari kayu jati. Mereka juga tidak tahu kenapa rumah ini dibangun di atas bukit, terpencil jauh dari mana mana. Mungkin yg membangunnya dulu, juga mau menyepi seperti aku. Hihihi. Tidak hanya sampai di situ,  mereka bilang di rumah itu banyak mahluk halusnya. Karena kerap terdengar suara derap langkah kuda atau  senandung seorang wanita.Tapi ketika aku ke sana, tak ada yg kudengar, kulihat dan kurasa. Tak juga merinding bulu roma. Padahal biasanya aku cukup peka terhadap dua dunia.
Setelah kunjungan ke rumah tua, aku minta diajari memancing ikan nila di tepi telaga. Bukan ikan yg kudapat tapi pacet yg menempel erat. Tak apa, aku sudah lama tidak donor darah.
Aku juga berjalan jalan ke perkampungan pemetik teh, banyak anjing di sana. Ternyata itu anjing pemburu, mereka dipakai untuk berburu babi hutan. Wah semangat sekali aku ingin ikut berburu. Tapi sayang mereka tidak membolehkan wanita ikut berburu. Nanti tidak dapat apa-apa kilah mereka. Mungkin alasan sebenarnya hanya takut merepotkan saja. Aku juga yg tak tahu diri, nafsu besar tenaga kurang. Hahaha. Belum tentu kuat masuk hutan sambil berlari mengikuti anjing pemburu. Dan pasti tidak kuat melihat babi hutan ditembak mati. Melihat ayam dipotong saja aku tak tega.
Kalau malam sedang cerah dan langit tak tertutup awan, berjalan jalan di bawah sinar bulan itu menentramkan.
Di sini yg tak kulihat hutan beton, juga tak ada suara klakson. Tak ada macet dan caci maki, juga tak ada polusi.
Setelah beberapa hari berlalu, mereka akhirnya tahu, bahwa aku wanita yg senang tinggal sendiri, tidak takut jurig (mahluk halus) dan tidak takut pacet, suka berjalan di tengah kabut dan di kala hujan, juga di saat malam.
Jelas bukan wanita setengah dewa, tapi wanita setengah gila.
Dadang, Ujang dan Cecep, cerita ini belum berakhir di sini. Kita lihat apa lagi yg terjadi esok hari ya..

Rabu, 08 Januari 2014

sempurna...

Mata kita sempurna, ia dapat melihat keindahan yang tak dapat terekam oleh lensa kamera.
Hati kita sempurna, ia dapat merasakan seluruh rasa yang tak terungkapkan lewat kata.
Dan inilah yg sedang kulihat dan kurasa. Tak ada gambar dan kata yg mampu mewakilinya.
Di sini, di tempat sesunyi ini, kabut perlahan turun menyelimuti hijaunya dedaunan, derai rintik gerimis membuat suasana bertambah syahdu. Dan ketika hujan berhenti, kabutpun tersingkap...di depan mataku gunung Salak dengan gagah tegak berdiri. Mengundangku untuk kembali mendaki.
Duhai Kau Sang Maha, pencipta semesta yg sangat sempurna, di hadapanMu aku hanyalah sebutir debu yg dalam satu hembusan nafas usai sudah kisah hidupku.
Siapakah aku ini hingga Kau beri kesempatan untuk menikmati Maha KaryaMu yg luar biasa?

hai kamu...

Apa kabarmu? Lagi di mana kamu sekarang?
Aku lagi nyepi, di tengah kebun teh, di tepi hutan. Biasa, lagi kena penyakit orang kota. Bosan, mumet, jenuh dengan keriuhan kota besar.
Di kabin ini aku tinggal sendiri. Dari jendela kamarku terpampang luas hijaunya kebun teh dan sebuah bukit dengan hutan yg masih lebat dan kerap tertutup kabut. 
Kala malam tiba, gemerlap kerlip lampu kota  indah sekali, kontras dengan pekatnya malam.
Ingat kala kita menikmati malam di ketinggian, kelap kelip lampu membuatmu termenung lama. Dan ketika kita harus pulang, kamu berkata :
Aku ingin lebih lama lagi di sini...
Kalau saja kamu di sini, kita bisa nikmati indahnya malam sepuasmu. Selelahnya mata sampai kantuk melanda.
Oh ya, hari ini aku belajar memasak menggunakan kayu bakar. Kulihat ibu mencontohkan caranya. Sesekali api ditiup menggunakan bambu agar nyala api stabil. Dan tahukah kamu apa yg terjadi saat aku mencoba meniup api?
Abu sisa kayu bakar berterbangan kemana mana, hasilnya wajahku cemong semua dan seluruh tubuhku bau asap.. hahaha...
Aku juga belajar memetik pucuk teh. Sepertinya ulat ulat yg ada di iklan itu lebih cepat daripadaku..hahaha..
Pucuk pucuk pucuk..
Di sini ada 3 desa pemetik teh. Jarak antar desa berjauhan, karena kebun  teh ini luas sekali. Lebih dari 660 ha. Para pemetik teh yg kebanyakan ibu-ibu berangkat jam 6 pagi untuk bekerja. Mereka memerlukan waktu sampai 1 jam untuk sampai ke daerah yg dituju. Karena kadang wilayahnya sulit, sampai di lereng yang curam. Dan mereka di bayar murah untuk kerja keras mereka.
Untuk  1 kg pucuk teh, mereka mendapat upah Rp 400. Tidak sampai 500 rupiah. Dalam sehari merka bisa mengumpulkan sekitar 50kg. Yg berarti upah mereka hari itu Rp 20.000 saja. Para pemetik teh ini adalah pekerja turun temurun. Mulai dari kakek buyut mereka sudah bekerja di sini.
Kadang2 ada juga yg merantau untuk menjadi pembantu rumah tangga di ibukota. Miris ya..
 
Aku senang sekali menyepi di sini. Tenang dan damai. Waktu terasa melambat. Yuu kita wujudkan mimpi kita untuk menghabiskan hari tua di tempat yg setenang dan seindah ini.
Luar biasa rasany ketika satu persatu tempat dan tokoh2 dalam tulisanku menjadi nyata. Bukan lagi hanya sekedar khayal dan fantasiku semata.
Rumah kabin di kebun teh ini misalnya, di sinilah aku sekarang.
Dan kamu ...
kuharap kamu tidak hanya menjadi tokoh dalam tulisanku saja....
Kuingin kamu menjelma dalam sosok yg nyata.

Kamis, 02 Januari 2014

Tuhan, Kamu di mana?

Rasanya sepi sekali di sini.
Di hatiku.
Kucari cari Kamu, tak ada.
Hanya ada luka berdarah dan sudah bernanah.
Kata mereka Kamu tak pernah ingkar janji, tak akan membiarkan aku sendiri, membusuk di sini.
Kata mereka kalau aku lelah, Kamu akan mengendongku. Kini kakiku tak kuat lagi melangkah, kuharap Kamu hadir menopangku.
Kata mereka, Kamu tak akan memberiku ujian yg aku tak sanggup menanggungnya. Tapi ujian ini sudah di batas semua rasa.
Kata mereka..
Kata mereka...
Sekarang kuingin mendengar kata2Mu..
Bukan mereka...
Jangan wakili diriMu yg Maha pada manusia yg fana. Karena aku tak percaya kata2 mereka.
Aku tidak sedang marah padaMu, aku juga tidak sedang marah pada siapa siapa. Aku hanya ingin bertanya...
Tuhan, Kamu di mana?