Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Senin, 31 Desember 2012

Hari terakhir di tahun ini

(the idealist)

Hari terakhir di tahun 2012. Sama seperti tahun tahun yang lalu, justru di saat saat ramai seperti ini, tak ada libur untukku. Pekerjaan sudah menanti. Sebagai orangtua tunggal dari 2 anak, aku harus kerja keras mencari uang, kapanpun dan di manapun itu.
Ohya, perkenalkan, namaku Aisyah. Kata bos'ku nama 'Aisyah' kurang komersil. Karena itu dia mengganti namaku menjadi 'Icha'.

Sejak kecil aku sudah bisa mencari uang sendiri. Dari umur 10 tahun aku sudah jadi pembantu. Maklum, aku bukan berasal dari keluarga mampu. Aku bahkan tidak mengenal siapa ayahku. Ibuku selalu marah marah padaku, katanya aku anak pembawa sial. Karena sejak aku lahir, ibu tidak laku lagi sebagai psk. Sehari hari aku lebih banyak diurus oleh nenekku.

Aku berhenti bekerja sebagai pembantu ketika usiaku 15 tahun. Saat itu aku hamil. Anak majikanku menghamiliku. Majikanku memberiku uang cukup banyak dan menyuruhku pulang. Tentu saja setelah berjuta sumpah serapah dilontarkan kepadaku. Nenek melarangku menggugurkan kandunganku. Katanya anak ini tidak bersalah. Seperti aku dulu. 
Nenek berjanji akan mengurus anakku. Anak pertamaku perempuan, lahir dengan tubuh sempurna. Walau kulitnya hitam seperti bapaknya, ia tampak manis dan lucu. Aida namanya.

Sejak Aida lahir, aku tidak bisa merantau lagi. Karena aku tidak tega meninggalkan anakku hanya berdua dengan nenek saja. Nenek sudah cukup tua. Karena itu aku mencari pekerjaan lain. Pekerjaan paruh waktu. Dan aku bertemu dengan bos'ku ini. Dia menjadikan aku pemusik jalanan. Aku penyanyi dan beberapa kru mengiringiku. Mendorong gerobak berisi aki dan speaker aktif yang suaranya kadang sember. Aku mulai bekerja dari selepas maghrib sampai tengah malam. Tapi aku mulai bersiap siap sejak sore hari. Kecuali jika hari hujan. Itu akan menjadi hari libur untukku, yang berarti libur juga penghasilanku.

Persiapan mulai dari latihan bernyanyi, menghafalkan lagu lagu baru, dan yang terpenting berdandan. Harus dengan bedak tebal, karena malam hari wajahku akan tampak pucat jika berdandan sekenanya. Kostum sudah disediakan oleh bos'ku. Awalnya aku sering masuk angin karena memakai kostum ketat dengan dada sedikit terbuka.Tapi lama kelamaan, angin malam mulai bersahabat denganku. Aku tidak perlu terlalu banyak latihan bergoyang, karena kebanyakan aku bernyanyi sambil berjalan.

Wilayahku adalah sepanjang jalur pantura, sekuatnya kaki ini melangkah dan semampunya aki menyala. Kadang kami mangkal jika ada yang menanggap. Atau hanya berkeliling menunggu saweran. Penghasilan kami dibagi bagi. Sebagian besar jatuh ke tangan bosku. Aku paling paling hanya mendapat duapuluh ribu semalam.

Dunia malam itu keras. Walau aku diiringi oleh 4 orang kru lelaki, tapi tidak sedikit lelaki yang tetap berani menggangguku. Menggoda, menyentuh, melontarkan kata kata kotor, sudah jadi bagian hidupku sehari hari. Bahkan aku pernah dimaki maki oleh seorang nyonya kaya yang suaminya tergila gila padaku. Maaf bu, aku memang pemusik jalanan, tapi aku bukan pelacur. 

Aku juga seperti kalian, pernah merasakan jatuh cinta. Dan cinta pertamaku jatuh pada kang Asep. Dia baik padaku, kata katanya santun dan selalu memperlakukan aku dengan hormat. Dia berjanji mau menikahi aku dan menganggap Aida sebagai anaknya sendiri. Karena itu aku luluh dalam rayuannya. Dasar aku bodoh, tidak mengerti kontrasepsi, aku hamil lagi. Setelah tahu aku hamil, kang Asep lenyap tanpa bekas. Kata keluarganya Asep merantau ke Jakarta. Anak keduaku laki laki. Aku beri nama dia Aiman. Dia lahir dengan tubuh sempurna dan kulit seputih kulitku. Untungnya setelah anakku lahir, bos'ku mau menerimaku kembali. Dan aku kembali bekerja sebagai pemusik jalanan.

Hari ini, hari terakhir di tahun 2012. Kalian mungkin sudah pergi berlibur atau setidaknya sudah berencana akan menghabiskan malam tahun baru ini dengan menyaksikan panggung hiburan dan kembang api. Tapi aku akan melaluinya seperti malam malam yang lalu. Hanya berharap rejeki yang kudapat hari ini lebih banyak dari hari hari sebelumnya. Tidak ada resolusi atau apalah namanya. Bagiku hidup hanya perlu kujalani sehari demi sehari. 

Semoga setelah membaca kisahku, jika kalian bertemu denganku, kalian tidak lagi memandangku sebelah mata atau membuang muka. Aku persembahkan lagu favoritku ini untuk kalian.
Selamat tahun baru.
(Aisyah) 

Minggu, 30 Desember 2012

Missy



Kampungku tidak gemerlap, tidak juga semarak. Hanya kampung kecil di tepi pantai. Jauh dari jalan raya. Sepanjang jalan berjajar pohon jati, sehingga teduh bagimu walau harus berjalan kaki sejauh lima kilometer. Ketika rimbunan pohon jati sirna, terbentang luas di hadapanmu pantai panjang berpasir putih dengan banyak pandan laut yang tumbuh di tepinya. Airnya biru jika langit sedang cerah dan angin tak ada. Jika sedang musim angin barat, ombaknya besar dan air laut menjadi kelabu membawa butiran pasir.
Beberapa perahu nelayan bersandar, menunggu angin tenang agar bisa melaut.

Aku hanya bocah kampung berkulit keling, bertubuh ceking, berperut buncit, berambut jagung dengan hidung yang selalu beringus karena kwashiorkor, kurang gizi. Kurang protein. Walau ayahku nelayan, ikan yang beliau tangkap hanya cukup untuk dijual atau ditukar dengan beras.

Itu itu saja hidup kami. Sampai suatu hari datanglah seorang wanita berkulit putih dan bermata sebiru lautku. Kedatangannya menarik perhatian penduduk desa. Kami memanggilnya miss...miss yang akhirnya jadi "missy". Kami pikir dia turis yang kesasar hingga sampai di kampung kami. 

Berhari hari dia tinggal di tengah tengah kami. Dia menyewa sebuah kamar di rumah pakde Roso. Orang paling kaya di kampungku yang memiliki 2 perahu bermotor. 
Missy mengajar bocah bocah kampung agar bisa baca tulis. Ya, kami buta huruf, kami tidak sekolah. Karena kami miskin dan sekolah terdekat berjarak 10 kilometer dari kampungku. 
Missy fasih berbahasa Indonesia. Missy juga mahir membuat kerajinan tangan, ia mengajar ibu ibu di kampungku membuat souvenir dari kerang. Ia juga mengajar kami menanam bakau, karena sebagian pantai kami mulai terkena abrasi. 

Mungkin ini cinta monyetku yang pertama. Cinta seorang bocah beringus pada seorang gadis secantik dewi. Gadis yang berbuat banyak untuk kampungku. Gadis yang peduli pada kampung miskin ini, lebih dari pak lurah peduli pada kami.

Pada suatu hari, hari paling kelabu yang pernah kuingat. Missy pergi dengan perahu kayu, menuju bagan apung milik pakde Roso. Dia sedang mencoba mengembangkan cara menangkap ikan yang lebih efektif dan efisien, terutama di musim angin barat seperti ini. 
Awalnya pagi itu cuaca cerah, walau sedikit dingin. Tidak terlihat awan di langit. Tapi menjelang siang cuaca mulai berangin. Gelombang ombak bagai cendol raksasa. Aku cemas menunggu Missy pulang. Bagan apung hanya terdiri dari tonggak tonggak bambu yang tidak cukup kuat menahan kekuatan alam. 
Semakin sore angin berhembus semakin kencang. Daun daun pandan laut yang berduri melambai kaku, bagai rombongan pendemo yang sedang marah dan mengacung acungkan tangan. 
Malam datang bersama air laut yang pasang. Ombak mengombang ambingkan perahu yang bersandar.
Ibu menyuruhku masuk rumah. Karena di luar angin bertiup begitu kencang. Tapi kaki kurusku bagai terpaku. Lampu petromaks di bagan apung mestinya sudah menyala sedari tadi. Tapi sejauh mata memandang hanya gelap semata. 

Laki laki di kampungku sudah membunyikan kentongan, bertanda waspada. Tidak hanya aku, seluruh warga kampung menanti Missy, pakde Roso dan dua orang lainnya pulang.
Tiba tiba petir menggelegar dan hujan deras jatuh bagai air laut yang ditumpahkan dari langit. Ibu memelukku erat. Ayah berjaga di luar.
Malam terpanjang yang pernah kualami, sampai aku tertidur dalam pelukan ibu.

Aku terbangun saat sinar mentari masuk dari sela sela gedek bambu rumahku. Sinarnya menyilaukan mata dan menghangatkan tubuh kurusku. Aku terjaga dan langsung melompat dari bale bale tempat tidurku. Ibu sedang meniup kayu bakar agar api tetap menyala, mungkin ibu sedang memasak air atau merebus ketela. Aku keluar mencari bapak, bapak tidak ada, perahu kayu juga tak ada. Kata ibu, bapak dan laki laki di kampungku pergi mencari Missy.

Menjelang sore bapak pulang. Wajahnya muram. Bahkan lebih muram dari saat paceklik, saat ikan sulit didapat. Samar kutangkap cerita bapak.
Bagan yang rusak....perahu pakde Roso hilang....Missy dan rombongan tidak ditemukan.....
Missy'ku, dewiku. Dia pergi dan tidak pernah kembali lagi. Gadis bermata sebiru lautku, yang peduli pada kampung miskin ini. Hatiku patah. Berhari hari kerjaku hanya memandangi laut berharap lampu bagan apung menyala dan Missy kembali.

Sampai akhirnya aku jatuh sakit, demam berhari hari, mengigau memanggil manggil Missy. Ketika aku mulai pulih, bapak berkata ;
"Le, Missy pasti sedih jika melihatmu seperti ini. Yang dia inginkan adalah kamu menjadi pandai dan bisa memajukan kampungmu ini."
Kata kata bapak bagai cambuk yang menghidupkan api semangatku yang nyaris padam. Aku harus pandai, harus mampu memajukan kampungku. Kalau aku bisa melakukan hal itu, Missy pasti bangga melihatku dari surga sana.

*****

Duapuluh tahun berlalu. Aku bukan lagi bocah kurus beringus. Kulitku masih keling tapi kampungku tak lagi miskin. Rimbunan pohon jati masih akan meneduhi perjalanan kalian menuju kampungku. Jalannya sudah di aspal. Hampir setiap rumah memiliki sepeda motor. Tambak udang, tambak bandeng berjajar dengan hutan bakau. Di hari libur banyak pengunjung yang datang menikmati pantai berpasir putih. Anak anak tidak perlu jauh jauh lagi untuk bersekolah. Listrikpun sudah masuk ke kampung kami. 

Hari ini aku pulang, rumah gedekku sudah bertembok permanen. Senja ini, aku duduk di teras menikmati segelas teh dan ketela rebus buatan ibu. Beberapa gadis lewat di depan rumahku, melemparkan senyum manisnya. Dan menyapaku. 
"Pak lurah kapan datang?"
"Baru saja mbak." Jawabku

Tak ada yang semanis senyum Missyku, tak ada yang bermata sebiru laut, seperti Missyku. Saat malam menjelang, dari kejauhan kulihat lampu lampu di bagan apung mulai menyala. Aku tahu Missyku tak akan kembali. Namun semangat dan cintanya pada kampungku, akan selalu hadir di hati kami. 



(untuk kalian, para pendekar lingkungan yang bekerja dalam diam)

Minggu, 23 Desember 2012

gadis penunggu hujan



Dia sudah tidak ingat kapan awalnya dia mulai mencintai hujan. Mungkin sejak kecil, ketika masih bisa bermandi hujan dengan teman temannya tanpa mengenakan baju. Hanya celana dalam yang tersisa menempel di tubuh. Baju diselamatkan agar tidak basah. Sehingga tidak dimarahi ibu. 
Mungkin ibu bukan mengkhawatirkan baju yang basah, tapi tidak ingin anaknya sakit karena berhujan hujanan. Yang ibu tidak tahu, hujan tidak mungkin menyakitinya, karena hujan mencintainya seperti dia mencintai hujan.  

Ketika waktu berlalu, hubungannya dengan hujan semakin erat. Walau kini hujan tidak lagi bisa menyentuh kulit putihnya, karena tak mungkin lagi dia bermandi hujan hanya mengenakan celana dalam saja, tapi selalu dibiarkannya hujan mengelus rambutnya. Hujan menjadi sumber inspirasinya. Dia dan hujan tumbuh besar bersama.

Seperti pasangan kekasih lain, kadang dia juga bertengkar dengan hujan. Terutama jika berbulan bulan hujan tidak datang mengunjunginya. Tapi dengan bahagia ditunggunya rintik pertama yang turun, yang kadang datang tanpa memberitahu terlebih dahulu, tanpa mendung dan tidak terdeteksi oleh badan meteorologi. Bagai sebuah kejutan manis.

Tapi lama kelamaan, hujan mulai menggila.  Sampai suatu hari hujan membanjiri rumahnya hingga hampir setinggi dada. Selama beberapa hari dia bertengger di atap rumah. Kurang tidur, kurang makan, kurang minum. Bahkan tidak bisa dengan nyaman menyalurkan panggilan alam.  
Sejak itu kehadiran hujan tidak lagi membuatnya bahagia. Tidak lagi ditunggu. Bahkan membuatnya takut. 

Hubungan merekapun mulai renggang. Bertahun tahun dia menjauhi hujan. Kadang rindu membuatnya menoleh sejenak memandangi rintiknya yang turun. Tapi ada sesuatu yang berubah, tak bisa lagi kembali seperti dulu. 
Akhirnya dia melanjutkan hidup, melupakan cintanya pada hujan, dan berharap perihnya segera hilang. Dia memutuskan untuk pindah rumah. Rumah yang mengingatkannya akan cintanya yang patah. 

Namun yang pertama kali menyambut kehadirannya di rumah baru, adalah hujan. Walau hanya gerimis, namun dia tetap tidak bisa menghitung jumlah rintiknya, yang dia tahu sebesar itulah hujan merindukannya. Mereka saling berpandangan lama, yang kata orang, hujan seperti ini awet. Mereka berbincang dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh keduanya, dan dia menyadari, bahwa sebenarnya dia masih sangat mencintai hujan. 

Hubungan yang rusak mulai terbina lagi, cinta lama bersemi kembali, mungkin seperti itu istilahnya. Apalagi dia tahu, bahwa di rumah barunya ini, dia bisa dengan bebas menikmati hujan tanpa takut hujan membanjirinya hingga setinggi dada.
Kini dengan bebas dinikmatinya aroma sang kekasih, aroma saat butiran hujan menyentuh dedaunan dan membasahi tanah kering. Dinikmatinya suara merdu sang kekasih yang indah bagai alunan perkusi. 

Tapi dia yang sekarang, bukanlah dia yang dulu. Dan hujan yang sekarang, bukanlah hujan yang dulu juga. Dia ingin hujan hanya mengunjunginya sendiri saja. Tapi hujan sekarang lebih sering datang bersama kilat, petir dan badai. 
Dia tidak suka kilat yang sinarnya menakutkan, atau petir yang suaranya menggelegar, apalagi badai yang mampu membuat pohon pohon bertumbangan.  
Mereka bertiga membuat dia takut, teman teman hujan membuat jantungnya berdetak lebih keras. 
Maka dengan marah ditutupnya pintu dan jendela jika hujan datang bersama ketiga temannya. Dengan demikian dia tidak bisa menikmati hujan, dan hujan tidak bisa mengelus rambutnya. 

Dia meminta kepada hujan, 
"Syaratku hanya satu, kalau kamu rindu, datanglah sendiri. Jika kamu datang bersama dengan teman temanmu, entah kilat, petir atau badai, aku tidak akan membukakan pintu untukmu." 
Hujan menjawab, 
"Inilah aku, terimalah diriku dan teman temanku. Kamu tidak bisa memisahkan aku dari mereka."

Kini dia merindu saat kanak kanak dulu, saat dia masih bisa bermandi hujan hanya dengan mengenakan celana dalam saja, tanpa takut hujan membanjirinya setinggi dada, tanpa takut hujan datang bersama teman temannya.

(buat kamu yang pernah bertanya, mengapa pada suatu waktu aku bisa berhenti mencintai hujan)

pada suatu sore

Dua wanita
Dua generasi
Dua ibu
Memandang senja
Menikmati hujan.....

Kamis, 20 Desember 2012

My heart....

Awalnya dia sama seperti pasienku yang lain. Yang datang karena sesuatu yang tidak biasanya dia rasa (dia anti dengan kata 'keluhan'. Dia tidak suka mengeluh, itu alasannya). 
Tapi setelah beberapa kali bertemu, aku melihat ada yang sangat menarik pada dirinya. Spontanitasnya, lucunya, gaya bicaranya, dia sanguin sejati.
Apa adanya, tidak penuh kepura-puraan. Kental dengan gairah dan kepolosan kanak kanak yang tidak berusaha dia tutupi dibalik sikap 'jaim' seperti yang biasa ditunjukkan wanita lainnya.
Jika hendak memuji, dia akan memuji. 
Jika hendak mengambil gambar, dia akan menyiapkan kameranya dan mengambil gambarku yang sedang salah tingkah. 
Atau saat dia terkejut melihatku memotong habis rambutku, dia membelalakkan mata dan memajukan bibirnya. Lucu sekali wajahnya.
Atau disaat yang lain, dia tiba tiba mengeluarkan kanvas lengkap dengan spidol warna warni, untuk kugambar. Hei, aku ini dokter, buka pelukis.
Atau saat kutanya, darimana dia mengerti istilah istilah medis, dengan santai dia menjawab bahwa dia alumni dari Grey's Anatomi University!!
Atau ketika tiba tiba aku mendapatkan pesan pendek darinya :
Have a nice weekend doc !!
Kubalas singkat :
Hi.. You too.
Dan dia membalas lagi :
Waaaa...dibales...dibales... smsku dibales..
Duuh senangnya... :))
Sungguh, bahagia itu sederhana...
Aku terbahak membacanya. Darah mudaku bergejolak kembali. Dan dengan bodoh kubalas :
Ah..kamu itu..
Bodoh bukan? Ketahuan sekali jika aku ini grogi.. Hahaha.
 
Sungguh, tidak hanya terhadapnya, tapi terhadap semua pasienku, aku ingin mereka bisa sembuh atau setidaknya merasa lebih baik, kualitas dan semangat hidup mereka meningkat dan hanya bertemu denganku sesekali saja, bukan untuk keluhan  tetapi untuk kabar baik atau hanya sekedar kontrol. 
Pertemuan demi pertemuan, semakin mengeratkan kami. Dia bagai magnet yang terus menarikku. 
Sayang sekali, mengapa kita harus bertemu sebagai dokter dan pasiennya?
Apakah kalian tahu, aku sedang berusaha keras agar tidak jatuh cinta padanya... 

*****
 
Rambutnya perak, membuatnya terlihat semakin matang dan menarik. Dia tampan. Senyumnya jenaka. Aritmiaku selalu kambuh jika bertemu dengannya. Entah apa yang membuatku begitu menyukainya. 
Mungkin karena dia pintar. 
Mungkin karena gerak jemarinya yang selalu menggambar ketika sedang menjelaskan sesuatu. 
Mungkin karena dia tidak pernah tersipu walau aku sudah melemparkan senyumku yang paling menggoda. Hahaha.
Jelas aku kalah telak. 
Persiapanku seperti 'nenek nenek rempong' ketika hendak bertemu dengannya. Aku bahkan mempunyai parfum yang kupakai khusus, hanya jika hendak bertemu dengannya. Entah untuk apa. Mungkin aku ingin dia mengingat harumnya. 
Pertemuan demi pertemuan, semakin mengeratkan kami. Dia bagai magnet yang terus menarikku. 
Sayang sekali, mengapa kita harus bertemu sebagai pasien dan dokternya?
Apakah kalian tahu, aku sedang berusaha keras agar tidak jatuh cinta padanya...  

20.12.2012

Kita berempat, bak kaki meja
Yang tidak akan sama lagi
Jika kehilangan salah satunya.....
(ini aku, yang sedang takut kehilangan kalian)

nb.angka cantik itu hanya bagus untuk nomor ponsel.

Sabtu, 15 Desember 2012

Gerhana

Aku dan dia penggemar bulan. 
Masing masing kami punya alasan.
Kerap bersama menatap purnama.
Apalagi saat sedang gerhana.

Dalam satu perjalanan, kami pernah menikmati malam.
Duduk di tanggul pantai dalam diam.
Tanpa bicara, hanya tengadah memandang kelam.
Tidak bersandar, tidak mengenggam.
Sepanjang malam hanya ada kami bertiga, aku, dia dan bulan.

(Pasir Putih, Des'11)  

antara coklat monggo dan nasi tutug oncom

Yang satu kegemaranmu, yang satu kegemaranku.
Aku tidak boleh makan coklat dan kamu tidak suka oncom.
Kamu tidak mau mencicipi nasi tutug oncom milikku.
Sementara aku ngiler melihat coklat monggo yang lumer dalam kunyahanmu.
Hmm...

Rabu, 12 Desember 2012

12.12.12

ULYSSES

Ayolah temanku
Sekarang belumlah terlambat
untuk menemukan dunia yang lebih baru

tekadku sudah bulat

untuk berlayar menuju matahari terbenam
meski…..

kini kita tak sekuat dulu lagi
bergerak diantara langit dan bumi;
itulah kita,
itulah kita;---

Sebuah hati yang teguh,

menjadi lemah oleh waktu dan sakit penyakit,
tapi kemauan yang kuat membuat kita bertahan hidup,
mencari,
menemukan dan
tidak menyerah."

(Alfred, Lord Tennyson)

Perlahan kubaca puisi di atas. 
Seorang sahabat memberiku puisi itu. 
Puisi yang berisi untaian kalimat yang mampu menguliti hati. 
Betapa dia seolah tahu apa yang sedang kurasa. 
Tak dapat kutahan airmata yang menitik jatuh. 
Bukan senyum dan ketegaran palsu yang kuperlihatkan di depan mereka.
Itu ungkapan jujur, yang benar benar kurasa saat mereka hadir di dekatku.
Tapi di saat lain, yang kurasa hanya hampa yang begitu pedih menusuk asa. 
Aku bagai perahu lesung yang melarung sendiri di tengah samudra. 
Tanpa layar, tanpa kayuh. 
Hanya mengalun mengikuti gelombang.
Sudah kucoba enyahkan hampa ini. 
Tak kurang syukur juga yang kupanjatkan. 
Namun semua perlahan mengabur, buram, yang tinggal hanya kerlip dalam remang semata. 
Dunia abu abu. 
Di mana nada dan warna tidak lagi mampu membangkitkan asa. 
Bisa kalian bayangkan hampanya?