Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Minggu, 23 Desember 2012

gadis penunggu hujan



Dia sudah tidak ingat kapan awalnya dia mulai mencintai hujan. Mungkin sejak kecil, ketika masih bisa bermandi hujan dengan teman temannya tanpa mengenakan baju. Hanya celana dalam yang tersisa menempel di tubuh. Baju diselamatkan agar tidak basah. Sehingga tidak dimarahi ibu. 
Mungkin ibu bukan mengkhawatirkan baju yang basah, tapi tidak ingin anaknya sakit karena berhujan hujanan. Yang ibu tidak tahu, hujan tidak mungkin menyakitinya, karena hujan mencintainya seperti dia mencintai hujan.  

Ketika waktu berlalu, hubungannya dengan hujan semakin erat. Walau kini hujan tidak lagi bisa menyentuh kulit putihnya, karena tak mungkin lagi dia bermandi hujan hanya mengenakan celana dalam saja, tapi selalu dibiarkannya hujan mengelus rambutnya. Hujan menjadi sumber inspirasinya. Dia dan hujan tumbuh besar bersama.

Seperti pasangan kekasih lain, kadang dia juga bertengkar dengan hujan. Terutama jika berbulan bulan hujan tidak datang mengunjunginya. Tapi dengan bahagia ditunggunya rintik pertama yang turun, yang kadang datang tanpa memberitahu terlebih dahulu, tanpa mendung dan tidak terdeteksi oleh badan meteorologi. Bagai sebuah kejutan manis.

Tapi lama kelamaan, hujan mulai menggila.  Sampai suatu hari hujan membanjiri rumahnya hingga hampir setinggi dada. Selama beberapa hari dia bertengger di atap rumah. Kurang tidur, kurang makan, kurang minum. Bahkan tidak bisa dengan nyaman menyalurkan panggilan alam.  
Sejak itu kehadiran hujan tidak lagi membuatnya bahagia. Tidak lagi ditunggu. Bahkan membuatnya takut. 

Hubungan merekapun mulai renggang. Bertahun tahun dia menjauhi hujan. Kadang rindu membuatnya menoleh sejenak memandangi rintiknya yang turun. Tapi ada sesuatu yang berubah, tak bisa lagi kembali seperti dulu. 
Akhirnya dia melanjutkan hidup, melupakan cintanya pada hujan, dan berharap perihnya segera hilang. Dia memutuskan untuk pindah rumah. Rumah yang mengingatkannya akan cintanya yang patah. 

Namun yang pertama kali menyambut kehadirannya di rumah baru, adalah hujan. Walau hanya gerimis, namun dia tetap tidak bisa menghitung jumlah rintiknya, yang dia tahu sebesar itulah hujan merindukannya. Mereka saling berpandangan lama, yang kata orang, hujan seperti ini awet. Mereka berbincang dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh keduanya, dan dia menyadari, bahwa sebenarnya dia masih sangat mencintai hujan. 

Hubungan yang rusak mulai terbina lagi, cinta lama bersemi kembali, mungkin seperti itu istilahnya. Apalagi dia tahu, bahwa di rumah barunya ini, dia bisa dengan bebas menikmati hujan tanpa takut hujan membanjirinya hingga setinggi dada.
Kini dengan bebas dinikmatinya aroma sang kekasih, aroma saat butiran hujan menyentuh dedaunan dan membasahi tanah kering. Dinikmatinya suara merdu sang kekasih yang indah bagai alunan perkusi. 

Tapi dia yang sekarang, bukanlah dia yang dulu. Dan hujan yang sekarang, bukanlah hujan yang dulu juga. Dia ingin hujan hanya mengunjunginya sendiri saja. Tapi hujan sekarang lebih sering datang bersama kilat, petir dan badai. 
Dia tidak suka kilat yang sinarnya menakutkan, atau petir yang suaranya menggelegar, apalagi badai yang mampu membuat pohon pohon bertumbangan.  
Mereka bertiga membuat dia takut, teman teman hujan membuat jantungnya berdetak lebih keras. 
Maka dengan marah ditutupnya pintu dan jendela jika hujan datang bersama ketiga temannya. Dengan demikian dia tidak bisa menikmati hujan, dan hujan tidak bisa mengelus rambutnya. 

Dia meminta kepada hujan, 
"Syaratku hanya satu, kalau kamu rindu, datanglah sendiri. Jika kamu datang bersama dengan teman temanmu, entah kilat, petir atau badai, aku tidak akan membukakan pintu untukmu." 
Hujan menjawab, 
"Inilah aku, terimalah diriku dan teman temanku. Kamu tidak bisa memisahkan aku dari mereka."

Kini dia merindu saat kanak kanak dulu, saat dia masih bisa bermandi hujan hanya dengan mengenakan celana dalam saja, tanpa takut hujan membanjirinya setinggi dada, tanpa takut hujan datang bersama teman temannya.

(buat kamu yang pernah bertanya, mengapa pada suatu waktu aku bisa berhenti mencintai hujan)