Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Senin, 18 Februari 2013

putri bumi

Malam ini aku ingin mencabik awan, supaya gelapnya terkoyak, dan matahari tersembul lagi, walaupun belum pagi.
Akan kuusir pengapnya udara, yang membuat nafasku sesak karena duka.
Aku bukan marah, aku hanya terluka.
Aku memang bukan ratu bidadari.
Aku tidak bersayap. Tidak istimewa. Tidak keemasan. Tidak megah. 
Aku ini putri bumi. Memiliki dua tangan. Dua kaki. Sebuah hati. Seraut wajah. Tak bisa ku ubah jati diri.
Saat ini aku menderita, hanya karena sebuah cerita.
Bodohnya, bagaimana bisa kubiarkan diri terluka...
Hati ku terhanyut. Kembali ke hulu, ke asal sebuah kisah. 
Padahal hilir sudah di depan mata.
Seakan telinga mendengar senandung nyanyian alam. 
Seakan mata melihat ke balik cakrawala. 
Sebenarnya semua dituliskan serasi dan sepadan; 
Udara panas dan tarian hujan. 
Pagi kelabu dan pantulan matahari di tetes embun. 
Tanah gembur dan padang pasir. 
Semak kering dan pucuk baru. 
Kepedihan dan kemenangan. 
Pertemuan dan perpisahan. 
Semua berpadanan. 
Jadi mengapa masih terluka?
Seseorang pernah menggali dengan indah, kini kukutip sebait kata katanya
"Karena sebagaimana kerap terjadi pada yang berharga dan kemudian hilang, ketika kau menemukannya lagi, mungkin dia tidak benar-benar seperti saat kau meninggalkannya."
Ku yakini waktu dapat membuat logam berharga menjadi karat, 

warna warni kain sutra memudar, 
tubuh menjadi debu, 
bahkan kata kata dan cinta hanya akan menjadi seperti buih ombak;
mencoba bertahan lalu hilang lenyap ~ 
bila semua itu sempat hilang dari kita, dan kita temukan kembali, ia akan berubah.
Jadi mengapa masih terluka?
Kupandangi gelapnya malam, aku tahu tak lama lagi pagi pasti datang, dan aku akan bertemu dengan mentari, yang sebenarnya tidak pernah pergi.