Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Selasa, 19 Februari 2013

Lelaki berikutnya

Di depannya ada secangkir kopi dan sebatang rokok kretek. Tapi tak disentuhnya sama sekali. Dua benda yang hampir bisa dikatakan tidak pernah menyentuh bibirnya. Sementara lelaki itu dengan nikmat menghembuskan asap rokok ke udara. Membuat kamar sempit itu semakin pengap. Tubuh tambunnya berkeringat bagai lemak yang terpanggang. Tapi dia sudah terbiasa menghadapi berbagai bentuk tubuh. Yang tampan atau yang buruk rupa, yang atletis seperti kuda sampai yang kurus seperti batang pepaya, yang pongah sebelum berlaga dan ternyata cuma sekejap saja kekuatannya. Baguslah sehingga ia tak perlu terlalu lelah melayaninya. Mungkin dalam hatinya dia berdoa, semoga semua lelaki hidung belang menderita ejakulasi dini.
Tanpa sadar diusapnya sprei kumal yang melapisi tempat tidur tua. Entah sudah berapa lama tidak pernah dicuci, baunya membuat dia mau muntah, tapi harus ditahan dan lama lama terbiasa. Entah sudah berapa banyak pasangan menumpahkan keringatnya di atas sprei ini. 
Ditariknya nafas panjang, melihat lelaki tambun itu mengenakan pakaiannya. Selesai sudah. Malam masih muda, akan ditunggunya lagi lelaki berikut yang entah seperti apa rupa dan tabiatnya.

Sudah berapa lama menjalani pekerjaan ini mba? Lelaki berkacamata itu bertanya padanya.
Sudahlah, mari kita selesaikan saja. Saya di sini bukan untuk bercerita, toh saya bukan selebrita, jawabnya ketus.
Tidak mba..saya tidak ingin berlaga, saya ingin mendengar mba bercerita. Akan saya bayar setiap jamnya.
Heeh, anak muda, hanya di film kacangan saja ada kisah pelacur dibayar untuk bercerita. Atau jangan jangan kamu impoten ya?
Hahaha, tidak mba... Alhamdulillah saya masih bisa berlaga, melihat tubuh molek seperti yang mba punya, lelaki mana yang tidak siaga? Apakah mba mau bercerita untuk saya?
Dia terdiam...tiba tiba lidahnya kelu, seperti ketika almarhum ayahnya terkena stroke dan tidak bisa lagi berkata kata. 
Detik demi detik berlalu. 
Tak satupun kalimat keluar dari bibirnya sampai malam menua.
Lelaki berkacamata itupun hanya memandanginya saja.
Menjelang pagi, lelaki itu bersiap diri. 
Terimakasih mba, sudah menemani saya.
Dikeluarkannya beberapa lembar ratusan ribu, diletakkannya di meja. Di sebelah secangkir kopi yang sudah menjadi dingin dan sebatang kretek yang belum terhisap.
Lain kali saya akan datang lagi, sambungnya sambil melangkah pergi.

Jadi malam ini dia hanya melayani dua lelaki. Yang satu tidak pandai berlaga dan yang satu hanya ingin mendengar cerita yang tidak pernah keluar dari bibirnya.
Apa pertanyaannya tadi? Berapa lama dia sudah menjalani pekerjaan ini?
Dua puluh tahun...
Namun dulu dia tidak dibayar dengan uang, tapi dibayar dengan status, perlindungan dan rasa aman. Namun apa bedanya dengan sekarang? Intinya tetap sama, dia menjual dirinya demi sebuah rasa. 
Perlahan diraihnya secangkir kopi dingin dari atas meja, sececap dirasanya pahit mengaliri raga. Membuatnya berharap di luar sana masih ada manis yang tersisa.