Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Jumat, 26 Oktober 2012

Just story (end)



Kukunyah roti ini perlahan, katamu ini roti paling enak sedunia. Lembut. Legit. Bukan roti buatan sebuah bakery ternama, tapi roti buatan sebuah toko kecil yang memakai resep dari leluhurnya. 
Gerimis mulai turun, kuangkat wajahku, aku sedang berada di bawah penangkal petir terbesar di dunia, di kota cinta, namun hatiku hampa. 
Sepi di tengah keramaian, mungkin ini seperti rasanya. 
Kulihat banyak pasangan yang berciuman di bawah hujan dan di bawah naungan payung, kita juga pernah melakukan hal itu bukan? Bertahun yang lalu. Sebelum kamu menghilang dan lenyap seperti ditelan bumi. Mungkin aku juga yang malas mencari.
 
Sampai hari ini, aku tidak pernah tahu isi hatimu. Karena kamu tidak pernah mengutarakannya padaku. Dan aku sudah lelah menerka nerka. Aku tidak dapat mengambil kesimpulan hanya dari semua sikap dan perlakuanmu terhadapku.
Kamu juga tidak tahu isi hatiku, setidaknya kamu tidak akan pernah mendengar pengakuan itu dari mulutku. 
Kita adalah manusia manusia yang angkuh, yang menyangkali perasaan kita sendiri. 

Karena berbagai alasan, cinta (tidak lagi) hanya cukup untuk cinta...
Cinta menuntut lebih, keinginan untuk memiliki, raga dan jiwa, utuh, penuh...
Cinta menjadi terbatas karena norma norma yang mengikat kita...
Cinta menjadi perih ketika aku dan kamu hanya bisa merasakannya tanpa berani mengungkapkannya...

Sudahlah, biarlah semua yang sudah berlalu, benar benar berlalu.
Aku sudah mengingatmu sejenak, dan sekarang aku akan berjalan pergi menyongsong masa depanku. 
Kurasakan pelukan hangat, di bahuku. Dia sedang menatapku. Kutatap matanya yang biru. Dan kami berjalan perlahan meninggalkan penangkal petir itu di belakang kami.

*Separuh bumi dari penangkal petir terbesar itu, di sebuah negara yang 'gemah ripah loh jinawi'*

Kuperhatikan wajahnya yang tirus, sepertinya aku tidak bisa memberinya bahagia. 
Kupikir dia tahu bahwa hatiku bukan untuknya. 
Sikapku yang dingin dan begitu acuh terhadapnya, pasti bisa dia rasakan. Dia pernah bertanya siapa yang mengisi hatiku. Tapi aku tidak menjawabnya. 
Kehadiranku baginya, tidakkah itu cukup? 
Sudah kuserahkan ragaku untuknya, jangan pinta hatiku juga. 
Biarlah sedikit rasa yang tersisa ini kujaga hanya untukmu, untuk seseorang, yang kini entah sedang berada di mana... 
Yang  sampai kini, aku tak mampu berkata padanya,
"Tahukah kamu....?"