Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Minggu, 30 Desember 2012

Missy



Kampungku tidak gemerlap, tidak juga semarak. Hanya kampung kecil di tepi pantai. Jauh dari jalan raya. Sepanjang jalan berjajar pohon jati, sehingga teduh bagimu walau harus berjalan kaki sejauh lima kilometer. Ketika rimbunan pohon jati sirna, terbentang luas di hadapanmu pantai panjang berpasir putih dengan banyak pandan laut yang tumbuh di tepinya. Airnya biru jika langit sedang cerah dan angin tak ada. Jika sedang musim angin barat, ombaknya besar dan air laut menjadi kelabu membawa butiran pasir.
Beberapa perahu nelayan bersandar, menunggu angin tenang agar bisa melaut.

Aku hanya bocah kampung berkulit keling, bertubuh ceking, berperut buncit, berambut jagung dengan hidung yang selalu beringus karena kwashiorkor, kurang gizi. Kurang protein. Walau ayahku nelayan, ikan yang beliau tangkap hanya cukup untuk dijual atau ditukar dengan beras.

Itu itu saja hidup kami. Sampai suatu hari datanglah seorang wanita berkulit putih dan bermata sebiru lautku. Kedatangannya menarik perhatian penduduk desa. Kami memanggilnya miss...miss yang akhirnya jadi "missy". Kami pikir dia turis yang kesasar hingga sampai di kampung kami. 

Berhari hari dia tinggal di tengah tengah kami. Dia menyewa sebuah kamar di rumah pakde Roso. Orang paling kaya di kampungku yang memiliki 2 perahu bermotor. 
Missy mengajar bocah bocah kampung agar bisa baca tulis. Ya, kami buta huruf, kami tidak sekolah. Karena kami miskin dan sekolah terdekat berjarak 10 kilometer dari kampungku. 
Missy fasih berbahasa Indonesia. Missy juga mahir membuat kerajinan tangan, ia mengajar ibu ibu di kampungku membuat souvenir dari kerang. Ia juga mengajar kami menanam bakau, karena sebagian pantai kami mulai terkena abrasi. 

Mungkin ini cinta monyetku yang pertama. Cinta seorang bocah beringus pada seorang gadis secantik dewi. Gadis yang berbuat banyak untuk kampungku. Gadis yang peduli pada kampung miskin ini, lebih dari pak lurah peduli pada kami.

Pada suatu hari, hari paling kelabu yang pernah kuingat. Missy pergi dengan perahu kayu, menuju bagan apung milik pakde Roso. Dia sedang mencoba mengembangkan cara menangkap ikan yang lebih efektif dan efisien, terutama di musim angin barat seperti ini. 
Awalnya pagi itu cuaca cerah, walau sedikit dingin. Tidak terlihat awan di langit. Tapi menjelang siang cuaca mulai berangin. Gelombang ombak bagai cendol raksasa. Aku cemas menunggu Missy pulang. Bagan apung hanya terdiri dari tonggak tonggak bambu yang tidak cukup kuat menahan kekuatan alam. 
Semakin sore angin berhembus semakin kencang. Daun daun pandan laut yang berduri melambai kaku, bagai rombongan pendemo yang sedang marah dan mengacung acungkan tangan. 
Malam datang bersama air laut yang pasang. Ombak mengombang ambingkan perahu yang bersandar.
Ibu menyuruhku masuk rumah. Karena di luar angin bertiup begitu kencang. Tapi kaki kurusku bagai terpaku. Lampu petromaks di bagan apung mestinya sudah menyala sedari tadi. Tapi sejauh mata memandang hanya gelap semata. 

Laki laki di kampungku sudah membunyikan kentongan, bertanda waspada. Tidak hanya aku, seluruh warga kampung menanti Missy, pakde Roso dan dua orang lainnya pulang.
Tiba tiba petir menggelegar dan hujan deras jatuh bagai air laut yang ditumpahkan dari langit. Ibu memelukku erat. Ayah berjaga di luar.
Malam terpanjang yang pernah kualami, sampai aku tertidur dalam pelukan ibu.

Aku terbangun saat sinar mentari masuk dari sela sela gedek bambu rumahku. Sinarnya menyilaukan mata dan menghangatkan tubuh kurusku. Aku terjaga dan langsung melompat dari bale bale tempat tidurku. Ibu sedang meniup kayu bakar agar api tetap menyala, mungkin ibu sedang memasak air atau merebus ketela. Aku keluar mencari bapak, bapak tidak ada, perahu kayu juga tak ada. Kata ibu, bapak dan laki laki di kampungku pergi mencari Missy.

Menjelang sore bapak pulang. Wajahnya muram. Bahkan lebih muram dari saat paceklik, saat ikan sulit didapat. Samar kutangkap cerita bapak.
Bagan yang rusak....perahu pakde Roso hilang....Missy dan rombongan tidak ditemukan.....
Missy'ku, dewiku. Dia pergi dan tidak pernah kembali lagi. Gadis bermata sebiru lautku, yang peduli pada kampung miskin ini. Hatiku patah. Berhari hari kerjaku hanya memandangi laut berharap lampu bagan apung menyala dan Missy kembali.

Sampai akhirnya aku jatuh sakit, demam berhari hari, mengigau memanggil manggil Missy. Ketika aku mulai pulih, bapak berkata ;
"Le, Missy pasti sedih jika melihatmu seperti ini. Yang dia inginkan adalah kamu menjadi pandai dan bisa memajukan kampungmu ini."
Kata kata bapak bagai cambuk yang menghidupkan api semangatku yang nyaris padam. Aku harus pandai, harus mampu memajukan kampungku. Kalau aku bisa melakukan hal itu, Missy pasti bangga melihatku dari surga sana.

*****

Duapuluh tahun berlalu. Aku bukan lagi bocah kurus beringus. Kulitku masih keling tapi kampungku tak lagi miskin. Rimbunan pohon jati masih akan meneduhi perjalanan kalian menuju kampungku. Jalannya sudah di aspal. Hampir setiap rumah memiliki sepeda motor. Tambak udang, tambak bandeng berjajar dengan hutan bakau. Di hari libur banyak pengunjung yang datang menikmati pantai berpasir putih. Anak anak tidak perlu jauh jauh lagi untuk bersekolah. Listrikpun sudah masuk ke kampung kami. 

Hari ini aku pulang, rumah gedekku sudah bertembok permanen. Senja ini, aku duduk di teras menikmati segelas teh dan ketela rebus buatan ibu. Beberapa gadis lewat di depan rumahku, melemparkan senyum manisnya. Dan menyapaku. 
"Pak lurah kapan datang?"
"Baru saja mbak." Jawabku

Tak ada yang semanis senyum Missyku, tak ada yang bermata sebiru laut, seperti Missyku. Saat malam menjelang, dari kejauhan kulihat lampu lampu di bagan apung mulai menyala. Aku tahu Missyku tak akan kembali. Namun semangat dan cintanya pada kampungku, akan selalu hadir di hati kami. 



(untuk kalian, para pendekar lingkungan yang bekerja dalam diam)