Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Jumat, 10 Januari 2014

Dadang, Ujang dan Cecep...

Mereka adalah three musketers. Para penjaga perkebunan teh, dan juga penjaga kabin . Ketika aku minta ijin untuk menginap di salah satu kabin yg paling terpencil dan jauh dr jalan yg biasa jadi lintasan manusia, mereka pikir mungkin aku sudah tidak waras.
Karena sejak kabin ini berdiri, belum ada tamu yg menginap hanya seorang diri saja.  Mereka tanya, apa aku tidak takut? Tentu saja tidak.
Awalnya mereka kuatir dan keberatan kalau aku tinggal di sana. Mereka menyarankan kabin lain yg lebih dekat dgn rumah mereka. Aku berusaha meyakinkan, bahwa aku memang menginginkan keheningan agar bisa menenangkan diri. Tapi mereka malah berpikir jangan2 aku hendak bunuh diri!! Hahahaha...
Tapi akhirnya mereka mengijinkan juga aku tinggal di sini, dengan banyak pesan sponsor tentunya.
Aku senang di sini. Musim penghujan kali ini, cuaca tak tentu. Bisa seharian kabut pekat menutupi pandangan, disertai hujan lebat tak henti-henti. Tapi kadang hangatnya mentari juga menyinari sejak pagi.
Menyepi bagiku bukan berarti diam di kamar saja. Aku tetap suka menjelajah, keluar masuk hutan, naik turun lembah. Mendatangi tempat2 bersejarah yg memiliki kisah.
Apalagi setelah mereka bercerita, ada sebuah rumah tua yg sudah ratusan tahun umurnya. Kosong tak ditempati, tak terawat dan mulai rusak di sana sini. Padahal terbuat dari kayu jati. Mereka juga tidak tahu kenapa rumah ini dibangun di atas bukit, terpencil jauh dari mana mana. Mungkin yg membangunnya dulu, juga mau menyepi seperti aku. Hihihi. Tidak hanya sampai di situ,  mereka bilang di rumah itu banyak mahluk halusnya. Karena kerap terdengar suara derap langkah kuda atau  senandung seorang wanita.Tapi ketika aku ke sana, tak ada yg kudengar, kulihat dan kurasa. Tak juga merinding bulu roma. Padahal biasanya aku cukup peka terhadap dua dunia.
Setelah kunjungan ke rumah tua, aku minta diajari memancing ikan nila di tepi telaga. Bukan ikan yg kudapat tapi pacet yg menempel erat. Tak apa, aku sudah lama tidak donor darah.
Aku juga berjalan jalan ke perkampungan pemetik teh, banyak anjing di sana. Ternyata itu anjing pemburu, mereka dipakai untuk berburu babi hutan. Wah semangat sekali aku ingin ikut berburu. Tapi sayang mereka tidak membolehkan wanita ikut berburu. Nanti tidak dapat apa-apa kilah mereka. Mungkin alasan sebenarnya hanya takut merepotkan saja. Aku juga yg tak tahu diri, nafsu besar tenaga kurang. Hahaha. Belum tentu kuat masuk hutan sambil berlari mengikuti anjing pemburu. Dan pasti tidak kuat melihat babi hutan ditembak mati. Melihat ayam dipotong saja aku tak tega.
Kalau malam sedang cerah dan langit tak tertutup awan, berjalan jalan di bawah sinar bulan itu menentramkan.
Di sini yg tak kulihat hutan beton, juga tak ada suara klakson. Tak ada macet dan caci maki, juga tak ada polusi.
Setelah beberapa hari berlalu, mereka akhirnya tahu, bahwa aku wanita yg senang tinggal sendiri, tidak takut jurig (mahluk halus) dan tidak takut pacet, suka berjalan di tengah kabut dan di kala hujan, juga di saat malam.
Jelas bukan wanita setengah dewa, tapi wanita setengah gila.
Dadang, Ujang dan Cecep, cerita ini belum berakhir di sini. Kita lihat apa lagi yg terjadi esok hari ya..