Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Rabu, 22 Januari 2014

titisan 2.... (tiga telaga)

Alkisah pada jaman dahulu kala, ada seorang putri yang jatuh cinta pada seorang pemuda dari keluarga rakyat jelata. Butuh perjuangan keras agar sang pemuda bisa di terima. Tapi ketika akhirnya hari pernikahan yang dinantikan itu tiba, pemuda itu tak pernah datang, dia menghilang entah kemana. Sang Ratu murka dan membuang semua perlengkapan pesta, sang putri menangis hingga airmatanya menjadi telaga...
Telaga yang pertama...
Itulah kenapa dulu orang-orang kerap menemukan perlengkapan dapur dan alat makan di dasar telaga ini. Barang-barang yang konon dibuang Sang Ratu yang sedang dilanda angkara.

Pak Dili berhenti sejenak, dihirupnya sebatang kretek, lalu dia melanjutkan ceritanya.

Di sini, dulunya hanya ada sebuah sungai kecil tempat sang Prabu memberi minum kuda-kudanya. Sang Prabu adalah ayah dari Sang Putri. Dia sangat kecewa karena putri yang sangat dicintainya, disia-siakan begitu saja oleh seorang pemuda. Dengan marah dia menunggang kudanya, pergi keluar istana. Sampai di tempat ini, dia menancapkan tongkatnya, dan ketika tongkatnya diangkat, mengalirlah air yang sangat deras. Dan jadilah sebuah telaga...
Telaga yang kedua..

Pak Dili menatapku. 
Neng itu wangi. Tubuh neng harum. Mungkin neng tidak pernah menyadari, bahwa neng adalah titisan Sang Putri. Karuhun (leluhur/roh nenek moyang) senang neng akhirnya pulang, kembali lagi ke sini. 
Jangan menagis lagi neng... cuma duka yang neng rasa sejak jaman dahulu kala. Sudah waktunya neng berbahagia dan menemukan cinta sejati dari seorang pria.

Aku tertegun mendengar cerita lelaki tua ini. Tentu saja aku tidak percaya begitu saja pada kata-katanya.
Aku ke sini memang sendiri, tapi bukan karena patah hati. Melainkan hanya ingin menyepi.
Pak...saya minta maaf, tapi saya sudah dua minggu di sini. Saya harus kembali. Tapi saya pasti akan ke sini lagi.
Neng... tahukah bahwa ada telaga ketiga? Telaga itu belum neng datangi kan?
Pak Dili lalu melanjutkan ceritanya.

Sejak ayah bundanya marah, Sang Putri jadi sering menyendiri. Dia tidak lagi menangis, air matanya sudah kering. Dia hanya suka bernyanyi untuk menghibur diri. Tempat dia menyendiri itulah telaga yang ketiga. Entah kenapa disebut telaga padahal tak ada air di sana. Mungkin maksudnya telaga duka, bapak juga tidak tahu. 
Konon di tempat itu, dahulu orang suka mendengar suara wanita bersenandung, menyanyikan lagu dengan nada yang begitu sedih.
Pulanglah setelah neng kunjungi telaga ketiga. 
Bapak juga tidak tahu, apakah telaga dalam cerita itu masih ada dan seperti apa sekarang kondisinya.
Bapak hanya pernah mengunjunginya sekali sewaktu bapak kecil. Cerita inipun bapak tahu karena kakek bapak dulu suka bercerita. 
Konon, kata kakek, kelak Sang Putri akan kembali dalam rupa yang berbeda, tetapi senyum ceria dan tawanya membuat semua karuhun di sini berbahagia. Karena Putri yang mereka puja sudah bisa tertawa lagi.

Pak..bukan saya tak ingin mengunjungi telaga ketiga, tapi cuaca sedang buruk sekali. Mungkin di lain waktu saat saya kembali, saya akan mengunjunginya.
Dengan berat hati, aku pamit pada pak Dili. Mata tuanya berkaca-kaca. Kutahan tangisku, agar tidak membuatnya tambah berduka.

Setibanya di kota, semangatku malah hilang entah kemana. Diriku seperti lilin yang nyalanya perlahan padam. Aku pikir ini hanya semacam proses adaptasi dan efek dari nyepi. Kehilangan minat pada peradaban.
Tapi ternyata pada saat yang sama, tepat sehari setelah aku pulang, 90 km dari tempatku berada sekarang, gunung di atas telaga kedua longsor!! Longsorannya menimbun 2 hektar areal kebun teh dan sebagian telaga kedua yang letaknya tepat di belakang kabinku, jaraknya kurang dari 50 meter!! 
Penduduk di sana terpaksa mengungsi. Termasuk pak Dili dan keluarganya. Berita itu kudapat dari Ibu yang menyediakan makanan untukku selama aku di sana. 
Mereka kaget karena sejak puluhan tahun turun temurun tinggal di sana, baru kali ini longsor terjadi. Beruntung tidak ada korban jiwa. Semua pemetik teh telah selesai bekerja dan beberapa pencari rumput untuk pakan ternak, sempat menyelamatkan diri ketika bunyi gemuruh datang dengan tiba tiba.
Aku langsung menelepon ibu, kutanyakan satu persatu kabar anggota keluarga, ibu bilang, Alhamdulillah semua baik baik saja, mereka sedang mengungsi seperti orang Jakarta jika dilanda banjir. 
Dan ketika kutanya kabar pak Dili, ibu menyerahkan telepon genggamnya.
Di seberang sana, dengan sinyal yang kadang tiada, sayup kudengar pak Dili berkata, 
Karuhun sedih neng pulang, sudah ribuan tahun tidak ada lagi canda dan tawa. Dan ketika bahagia itu tiba, datangnya hanya sekejap saja...

Aku kehabisan kata, tak dapat bicara. Airmataku tumpah, tidak menjadi telaga, hanya menjadi sebuah peta, peta yang menunjukkan letak telaga ketiga....