Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Rabu, 19 Februari 2014

cafe

Kenapa sih rambutmu harum sekali? Kataku sambil memeluknya dan menciumi rambutnya.
Karena aku sudah mandi, jawabnya asal saja.
Aku juga sudah, tapi kenapa tidak seharum kamu, sahutku.
Karena lelaki punya aroma khasnya sendiri, asem....!Hihihihi..., lanjutnya sambil terkikik.
Gadis nakal...  Aku memasang wajah marah, lalu membungkam tawanya dengan kecupanku.
Ah..betapa aku mencintainya. Namanya Kya. Gadis indo cantik, blasteran Jawa Belanda, rambutnya sebahu, kulitnya putih. Aku mengenalnya saat pembukaan sebuah cafe milik temanku, aku yang mendesain interiornya.
Tanpa terasa, hubungan kami sudah berjalan hampir setahun lamanya. Tapi, masih banyak hal yang tidak kuketahui tentang dia. Dia tidak pernah mau memberitahu di mana rumahnya dan apa pekerjaannya, belum saatnya, selalu begitu jawabnya. 
Dia pernah bercerita, kalau orangtuanya masih melarang dia untuk berpacaran, padahal usianya sudah bukan remaja lagi. 
Jika ingin bertemu, kami akan janjian di cafe itu atau di sekitarnya. Lalu kami akan pergi, entah nonton, sekedar jalan atau makan dan pulangnya aku akan mengantar Kya kembali ke cafe itu lagi. 
Tentu saja aku tak puas dengan hal ini, aku ingin memilikinya lebih dari kekasih. Aku pernah meminta seorang temanku untuk menyelidikinya. Tapi hasilnya nihil. Temanku pernah mencoba mengikuti mobilnya, tapi Kya selalu berhasil menghindar. Mungkin aku harus menyewa detektif seperti di film-film itu. 

Suatu hari kawasan sekitar cafe ditutup untuk persiapan sebuah acara kenegaraan, padahal aku sudah punya janji untuk bertemu dengan Kya di sana. Nomor ponselnya tidak dapat kuhubungi. Aku sanagt mengkuatirkan dirinya. Seharian aku menunggunya, tapi hingga malam tiba, Kya tidak datang.
Sampai keesokan paginya, aku menerima sebuah pesan singkat dari Kya. Permintaan maaf karena tidak dapat menemuiku kemarin. Dia berjanji akan menemuiku malam ini untuk menjelaskan semuanya. 

Kuatir dan marahku langsung sirna ketika kulihat Kya. Langsung kupeluk tubuhnya, sungguh aku tak ingin hal seperti ini terulang lagi. Wajahnya tampak pucat. Dia tampak kurang sehat.
Maafkan aku Ar, kemarin asmaku kambuh cukup parah sehingga aku tak bisa menemuimu dan tak bisa mengabarimu. 
Katakan aku harus bagaimana jika hal ini terjadi lagi padamu Kya? Mengapa tak kau ijinkan aku untuk menjagamu? Aku berjanji akan berusaha memenuhi apa yang menjadi persyaratan orangtuamu, untuk menjadi kekasih anaknya. Untuk menjadi calon menantunya.
Ari... dengarkan aku... Kurasa sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui siapa sebenarnya aku ini. 
Jantungku berdegup tak tentu saat mendengarnya bertutur.

Aku sudah lama berada dalam kotak kayu tua itu. Lembab dan berjamur. Sesak rasanya. Sampai suatu hari kamu membuka kotak itu, memberiku udara, menemukanku lalu membingkaiku dan meletakkan aku pada tiang kayu itu. Kamu sudah menyelamatkan hidupku Ar dan kamu membuatku jatuh cinta. Sedemikian dalamnya hingga kadang aku tak menyadari kalau kita berasal dari dua dunia yang berbeda. 
Ari sayang, maafkan aku... Kita tak dapat melanjutkan hubungan ini. Karena sebenarnya aku tak pernah ada. Jika ada temanmu yang bertanya tentang kita, katakan saja kalau kita dapat lagi bersama, karena usiaku 200 tahun lebih tua darimu.

Aku mencoba tertawa, semua ini bualan belaka. Jelas aku tak percaya.
Kya memegang tanganku dan mengajakku ke sebuah tiang kayu di mana sebuah bingkai foto terpajang di sana. Sebuah foto tua, foto hitam putih dari seorang wanita muda yang hidup 200 tahun yang lalu. 
Foto itu...foto Kya....