Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Jumat, 19 April 2013

Pemuda seribu pulau

Namaku Taufan. Aku tinggal di sebuah pulau kecil  yang dihuni 4000 jiwa. Kamu bisa membandingkan besarnya dengan kompleks rumahmu. Kita sebut saja pulauku ini pulau cinta ya. 
Pulauku sekarang menjadi pulau wisata. Pulau cinta memanjang dari barat ke timur. Penduduk hanya mendiami bagian tengah pulau. Ujung barat pulau hanya terdiri dari hutan kelapa yang rimbun. Dan bagian timur pulau adalah tempat water sport dan ada sebuah jembatan yang menghubungkan pulau cinta besar dan pulau cinta kecil. Pulau cinta kecil tidak berpenduduk, hanya ada hutan dan sebuah makam di sana.
Pekerjaanku sekarang adalah tour guide. Mengantar tamu yang mengunjungi pulauku. 

Sebelumnya aku merantau dan bekerja sebagai penyelam kompresor, tentu saja bukan untuk bersenang senang seperti kalian, tetapi untuk mencari ikan, timah atau memasang alat penyedot pasir, tergantung apa yang diperintahkan juraganku. 
Pekerjaan yang beresiko tinggi karena minim pengaman. Tanpa  baju selam khusus, tanpa masker, hanya kacamata renang kayu dan fin (kaki katak) itupun jika ada, pemberat yang kugunakan hanya timah atau batu.
Aku mengandalkan kompresor sebagai alat bantu nafas, tentu saja udara yang dihasilkan tidak tersaring dengan baik dan jelas sangat membahayakan nyawa. Aku pernah nyaris lumpuh karena menyelam. Sejak itu aku kembali ke pulauku.

Hari ini seperti hari hari yang lain di pulauku yang panas. Karena bukan akhir pekan, tidak terlalu banyak pengunjung yang datang. Kata bos ku akan ada dua tamu yang berkunjung dan menginap selama tiga hari dua malam. Mereka mengambil paket lengkap, kerena itu pelayananku juga harus lebih baik lagi agar tidak mengecewakan mereka yang sudah membayar lebih. Seorang ibu dan putri kecilnya. Kutunggu kedatangan mereka di dermaga. Setibanya mereka, aku mengantar mereka ke penginapan dengan menggunakan bentor, sebutan kami untuk becak motor. Hasil modifikasi becak yang tidak lagi dikayuh, tapi menggunakan motor sebagai penggerak.

Ibu Saras dan putrinya Intan sangat ramah padaku. Komentar pertama dari gadis kecil itu adalah, 
kenapa pulaunya tidak seperti yang ada di internet? 
Hahahaha...yang di internet terlihat lebih indah ya dik. 
Pulau berpenduduk memang ramai, dan pemukimannya juga padat. Sayang memang, karena pantai di sini sudah banyak yang disekat dengan tembok sebagai pembatas, seperti petak petak kontrakan. Jelas mengurangi keindahan pantai yang tidak lagi terlihat lepas dan luas.

Acara kami hari itu adalah berjalan jalan mengunjungi saung cemara, sayang sekali angin mati sewaktu kami di sana. Intan yang kepanasan mengajak kami kembali ke penginapan. 
Menjelang sore kami berjalan jalan menyeberangi jembatan cinta sampai ke pulau cinta kecil dan beruntung kami sempat melihat sekumpulan lumba lumba yang berenang melompat lompat dekat sekali dengan kami. 
Bu Saras senang sekali mendengarku bercerita tentang pulau cinta. Dia penyuka sejarah. Kami berbagi ilmu, dia mengajariku mengambil gambar dengan menggunakan kamera yang bisa digunakan di bawah air, bagaimana supaya hasil foto bisa maksimal. Caranya menjelaskan sangat mudah dimengerti olehku.  
Intan sendiri sama seperti anak anak lain, lebih menikmati main banana boat daripada berjalan jalan menikmati pemandangan. 
Senja itu kami nikmati sejenak sebelum kembali ke penginapan. Tentu saja terutama karena Intan sudah mengelus ngelus perutnya karena kelaparan. Anak itu lucu.
Malam itu, sebenarnya aku ingin berbincang bincang dengan bu Saras. Tapi baru jam 8 kulihat lampu kamar mereka sudah gelap. Mungkin mereka sudah tidur karena lelah berkegiatan seharian ini, sementara aku sulit sekali memejamkan mata. Tak sabar kutunggu pagi untuk bertemu lagi dengan mereka.

Pagi keesokan harinya kami sudah siap untuk pergi ke beberapa pulau untuk snorkling. Walau sudah membawa perlengkapan snorkling lengkap, ternyata bu Saras dan Intan lebih nyaman hanya menggunakan kacamata renang saja karena mereka berdua ternyata perenang handal yang bisa tahan lama bernafas di dalam air. 
Intan yang baru sekali ini snorkling tidak menunjukkan tanda tanda takut atau panik sama sekali. Dia malah betah berlama lama memperhatikan indahnya terumbu karang dan ikan hias yang berwarna warni. Supaya ikan ikan berkumpul, kami memberi mereka makan remah remah roti yang sudah disiapkan. Ketika remah roti habis, ibu dan anak itu memberi makan ikan dengan makan siang mereka, nasi, tempe, nuget, udang bahkan kacang panjang. 
Ibu Saras naik lebih dulu ke atas perahu karena lelah. Ketika kulihat jemarinya gemetar, aku tahu dia sudah tidak ada tenaga untuk naik ke atas perahu. Aku membantunya melepaskan life jacket agar lebih mudah naik. Kuminta rekanku untuk tetap menjaga Intan yang masih asik di air. Aku naik lebih dulu dan kuulurkan tangan untuk membantunya naik ke permukaan. Wajahnya pucat tapi tawa dan senyum tak lepas dari bibirnya. 
Dia berkata, ah ternyata saya sudah mulai tua...hahahahaha..
Bagiku dia sama sekali tidak terlihat tua. 
Empat jam snorkling pasti melelahkan siapapun juga.

Lewat tengah hari kami kembali ke penginapan, bu Saras dan Intan beristirahat sejenak. Dan aku lagi lagi sangat ingin waktu istirahat segera berlalu, sehingga kami  bisa bersama sama lagi. Beberapa kali aku mengirim pesan singkat menanyakan keadaan mereka. Sebenarnya aku juga ingin bertanya mengapa mereka liburan berdua saja. Mengapa suami bu Saras tidak ikut. Tapi rasanya sangat tidak sopan jika aku menanyakan hal tersebut. Entah apa yang membuatku sangat ingin tahu tentang mereka. 

Sore itu kami berjalan jalan menuju ujung barat pulau, menikmati angin senja dan gugusan pohon kelapa sambil menunggu matahari terbenam. Sepi sepanjang jalan, hanya ada kami bertiga yang tertawa tawa meningkahi suara desau angin. 
Bahagia kurasakan berada di antara mereka berdua. Dan pulauku ini, menjadi begitu indah tidak seperti biasanya. Malam mulai turun ketika kami kembali menuju ke penginapan. 
Ketika melewati rumahku, bu Saras memanggil namaku, 
Taufaaaan... 
Intan ikut ikutan memanggil namaku...
Om Taufaaan... 
Padahal aku jelas jelas ada di sebelah mereka. Ibuku keluar dari dalam rumah, beliau berkata, 
Taufan lagi ngantar tamu.. 
Lalu bu Saras dan Intan tertawa, 
Iya ibuu...kami tamunya. 
Jelas saja ibuku bingung. Beliau tidak melihatku di kegelapan karena kulitku hitam. Tamu tamu yang nakal.

Seperti kemarin, sesampainya di penginapan mereka langsung tidur. Aku sudah mengirimkan pesan singkat bahwa akan tidur di dekat penginapan agar bisa segera datang jika sewaktu waktu dibutuhkan. Ini malam terakhir, mungkin bu Saras ingin menikmati malam di tepi pantai. Tapi ternyata harapanku belum terkabul.
Mungkin karena lelah, aku bisa tertidur lelap dan malam itu aku bermimpi. Mimpi pergi ke Jakarta dan berjalan jalan dengan bu Saras dan Intan. Mimpi yang tak kumengerti artinya. 

Pagi terakhir di pulau cinta. Kami snorkling di laut depan penginapan. Sedikit ke tengah menggunakan donat gabus sebagai pengganti perahu. Bu Saras dan Intan tertawa tawa ketika aku menarik mereka ke tengah laut. Katanya aku hebat, bisa berjalan di air dan kuat menarik mereka. Tentu saja kuat, karena semua terasa ringan saja di air. 
Ikan dan karang di dekat penginapan juga tak kalah indah, sayang beberapa ada yang mati dan rusak. Kami snorkling sampai kulit kemerahan terpanggang matahari.
Rasanya aku tak ingin hari ini berakhir. Bahkan belum berpisah saja aku sudah bisa merasakan rinduku pada mereka. Namun liburan harus usai. Mereka harus kembali pulang dan aku kembali menjadi pemuda pulau. 

Berkecamuk rasa di dada saat kuhantar mereka ke dermaga. Belum pernah aku berpisah seberat ini dengan tamuku. Kutunggu sampai mereka berangkat, kupandangi speedboat yang menderu menjauh dari pulauku. Mereka melambaikan tangan sambil tertawa tawa, kucoba untuk tersenyum namun sulit rasanya.  Perlahan speedboat membelah laut dan membawa separuh hatiku pergi. 

Ketika speedboat menghilang dari pandangan mata, kukirimkan sebuah pesan singkat...
Saras, bagaimana jika Taufan rindu?