Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Senin, 12 November 2012

Aurora




Di antara sekian banyak mahasiswa baru, gadis itu sangat menarik perhatianku. Bukan hanya karena ia cantik, kulitnya putih, matanya bulat dan bibirnya merah walau tanpa pulasan lipstik. 
Tapi terlebih karena gayanya yang santai dengan rambut dikuncir, kaus oblong dan jeans belel, dia tampak  begitu alami dan sederhana. Tapi di sebelahnya selalu ada bocah tengil itu. Yang selalu menjaganya bagai bayangan.
Aku ingat ketika hari pertama program pengenalan kampus, aku bertanya siapa namanya. 
Dia menjawab, “Octavia, kak."
Bocah tengil di sebelahnya nyeletuk, "panggilannya 'Oot'  kak."
Pipi gadis itu langsung bersemu merah. Cantik sekali.
Kuabaikan celetukan bocah tengil itu. 
Kutanya lagi, apa cita citanya (ku yakin dia akan menjawab ‘jadi arsitek’ karena itu jurusan kami) tapi ternyata, dia menjawab,
“melihat aurora kak…”
Hmmm…cita cita yang aneh pikirku. 
Lalu apa hobbymu, tanyaku lagi.
Bocah tengil itu mendahului menjawab, 
“mancing kak! mancing bersin pakai kilikan tisyu."
Mata bulat itu melotot dan jemarinya melayangkan cubitan bertubi tubi ke lengan bocah tengil itu, bocah itu mengaduh-aduh. 

Bocah tengil itu, namanya Dani. Mengingatku samar samar pada sebuah nama dari masa kecilku. Sebetulnya dia tidak tengil, hanya jahil atau mungkin dia sebenarnya baik, hanya aku saja yang iri. Iri pada kedekatan mereka berdua.

Dani dan Via, mereka bersahabat sejak kecil,  karena itu mereka begitu dekat. Via yatim piatu, kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, hanya Via kecil yang berhasil selamat dari petaka itu. Via dibesarkan neneknya dan tumbuh menjadi gadis jelita yang membuat anak laki laki membunyikan siulan siulan nakal untuk menggodanya. Karena itulah Dani, selalu mendampingi dan menjaganya agar tidak ada yang berani menggoda sahabat kecilnya.

Aku sendiri, pendatang baru di kota kembang ini. Tiga tahun lalu aku datang untuk kuliah di sini. Aku berasal dari kota apel yang sejuk. Ayahku membesarkan aku sendiri karena kedua orangtuaku sudah berpisah sejak aku kecil. 

Seiring waktu, aku mulai dekat dengan Via, tentu saja sulit untuk mencari waktu berdua saja dengannya, karena pengawalnya itu selalu menjaganya. Hingga suatu hari, aku berhasil 'menculik' Via dan mengajaknya melihat keindahan malam dari ketinggian, di selatan kota ini. Berdua kami berbaring di atas rumput, memandang taburan bintang di pekatnya langit malam. 

"Kenapa kamu ingin melihat aurora Vi?", tanyaku memecah keheningan.
Kudengar dia menarik nafas panjang, dan berkata,
"Ketika aku kecil, kalau aku bertanya pada nenekku tentang ayah dan ibu, nenek akan bercerita tentang pendar cahaya di langit, ayah dan ibuku adalah cahaya itu. Setelah sedikit lebih besar, aku tahu pendar cahaya itu bernama aurora, hanya saja aku tidak dapat melihatnya di sini. Aku harus pergi ke negeri yang jauh. Tapi setelah aku mengerti tentang 'kematian' aku tahu, bahwa ayah ibuku bukanlah pendar cahaya. Tapi itu tidak mengurangi harapanku untuk dapat melihat aurora kelak."

Aku terdiam. Dalam hatiku ingin berkata, akan kuajak kamu menikmati auroramu. Tunggulah, aku akan bekerja keras untuk dapat mewujudkannya. 

Hari dan bulan berlalu, tugas tugas kuliah tingkat akhir cukup membuatku sibuk. Sehingga waktuku untuk Via sedikit berkurang. Sampai suatu hari aku mendengar Via terjatuh dari motor ketika sedang dibonceng Dani. Aku langsung menuju rumahnya. 
Neneknya menyambutku, dan menjelaskan bahwa Via tidak apa apa, tidak terluka. Dani yang terluka. Via sedang di rumah Dani sekarang. Inilah kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah Dani. 
Sebuah rumah tua yang masih terawat dengan baik. Rasanya seperti dejavu. Halaman berumput hijau, deretan melati di teras, batu batu yang berbunyi khas saat terinjak dan sebuah pohon mangga dengan kursi besi tua yang diletakkan bawahnya. 

Kedatanganku disambut Via yang langsung mengajakku masuk. Di ruang tamu kulihat Dani terbaring di sofa dengan luka luka di lutut, siku dan dahinya. Selebihnya dia baik baik saja. Tak lama kemudian, seorang wanita setengah baya keluar dari dalam, kupikir beliau pasti ibunya Dani, sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi entah kapan dan di mana. Beliau tertegun menatapku dan dari bibirnya terucap 'Angga'....
Tiba tiba ruangan menjadi hening, semua terdiam, terkejut. 
Wanita itu perlahan mendekatiku dan mengulurkan lengannya memelukku...
"Angga anakku...."

Sembilan belas tahun yang lalu, kedua orangtuaku berpisah. Aku yang masih berusia 4 tahun ikut ayahku, ibuku tetap tinggal bersama adikku yang waktu itu masih berusia satu tahun, Dani....
Ya, ternyata Dani adalah adikku. Lalu, ibu dan Dani mengajakku tinggal bersama mereka. Ibu dan ayahku sama sama tidak menikah lagi setelah perpisahan mereka.

Aku tahu, Dani bukan hanya sahabat kecil Via, tapi juga sangat mencintainya. Dan aku tidak mau bersaing dengan adikku sendiri. Kuliahku sudah selesai dan aku berencana untuk bekerja di luar negeri. Menjauh dari semua yang aku cinta.

Dan di malam tahun baru ini, aku mengajak Via keluar untuk yang terakhir kalinya. Saat di mana semua tempat menjadi begitu riuh dengan terompet dan kembang api, aku dan Via mendatangi tempat pertama kali aku menculiknya dulu, di selatan kota, di ketinggian ini. Dari kejauhan tetap terdengar riuh dan gemerlap kota menyambut tahun yang baru. Tapi di sini, hanya ada aku, Via dan heningnya malam. 

"Vi, aku pernah berjanji dalam hatiku, ketika pertama kali kita datang ke tempat ini. Saat kamu bercerita tentang "aurora"mu. Betapa inginnya, suatu hari nanti aku mengajakmu melihat aurora yang sesungguhnya. Aku akan bekerja keras untuk mewujudkan hal itu. Tapi untuk sementara ini, tulislah doa dan kerinduanmu pada orangtuamu di lampion lampion ini, lalu kita terbangkan bersama sama ya..."

Malam itu, malam terakhir aku bertemu Via, tiga hari kemudian aku berangkat menuju ke belahan bumi yang lain. Harus kulepaskan semua yang aku cinta, dan berharap waktu dapat menyembuhkan semua luka. karena itu aku hanya mengirimkan kartu pos pada keluarga yang baru sejenak kumiliki. 
Satu satunya kartu pos yang kukirimkan untuk Via, bergambar aurora. Aku tidak pandai merangkai kata. Hanya beberapa kalimat yang kutulis.


Dear Oot..
Malam ini, aku melihat aurora. Indah sekali. Kuharap suatu saat nanti, aku akan kembali ke sini bersama denganmu, mewujudkan cita citamu. Maaf kalau aku mendahului menikmati indahnya aurora ini sendiri.
Salamku untuk Ibu, Dani dan keponakan kecilku.

Hari ini, setelah lima tahun aku pergi, aku kembali menjejakkan kaki di tanah airku. Waktu terlama bukan ketika pesawatku melintasi separuh bumi, tapi perjalanan dari bandara sampai ke rumah ibuku. Jetlag tidak terlalu mengangguku, kerinduan yang membuncah lebih membuatku tidak karuan. Aku tidak mengabari kedatanganku yang tiba tiba ini.
Kehadiranku disambut senja dan rumah yang sepi.

Hanya sesaat aku menunggu, sebelum ibu keluar. Ini kali ke dua ibu tertegun melihat kedatanganku. 
"Angga anakku...." kata kata yang sama dengan yang pernah beliau ucapkan dulu.
Kupeluk dan kulepaskan kerinduanku pada ibu, baru kulepaskan pelukanku ketika aku menyadari hanya ada ibu sendiri. Perasaanku mulai tidak enak. Kutanya di mana Dani. Dani belum pulang, masih di kantor, jawab ibu.

Lalu kutanya Via dan keponakan kecilku.
Ibu tidak menjawab, beliau terdiam lama. Lalu kulihat airmata menetes di pipinya.
"Via, tidak pernah menikah dengan Dani, nak. Dani memang mencintainya, tapi Via mencintaimu, Angga. Setahun setelah kamu pergi, Via sakit dan Tuhan memanggilnya pulang. Kami tidak dapat mengabarimu, karena kamu tidak meninggalkan alamat di kartu pos yang kamu kirim."

Aku diam terpaku mendengar cerita ibu. 
Ibu masuk ke dalam dan keluar dengan selembar kartu bergambar lampion terbang.


Dear Angga...
Kalau kamu membaca kartu ini, berarti aku sudah menjadi pendar cahaya, berkumpul bersama ayah, ibu dan nenekku.
Tapi jika kamu rindu padaku, terbangkan saja lampion lampion buatan tanganmu, tuliskan doa dan kerinduanmu untukku. Seperti yang pernah kita lakukan dulu.
Luv u
'Oot' 

Tiba tiba hatiku hampa....

(gambar di copas dari google.com)