Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Minggu, 15 April 2012

Nostalgi...

Aku bingung harus memulai darimana cerita ini... 
Cerita tentang kalian...

Dia... 
Aku mengenalnya semenjak aku kuliah dulu. Tidak ada hubungan istimewa di antara kami. Dia seperti teman temanku yang lain. Seorang calon dokter yang berpenampilan tenang. Kami kehilangan kontak untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya seorang teman mengabarkan padaku, dia sakit. Gagal ginjal terminal. Dying. Dua kali seminggu harus cuci darah. 
Pertama kali aku menemaninya cuci darah, hatiku sangat sedih. Dokter muda dengan masa depan yang cerah, harus mengalami hal seperti ini.
 Kutawarkan baginya satu ginjalku. Karena golongan darah kami sama. Itu menumbuhkan harapan baru dalam hidupnya. Tapi prosesnya panjang dan ternyata aku tidak memenuhi syarat untuk menjadi donor ginjal baginya. 
Aku tahu, hatinya hancur, harapan hidupnya pupus. 
Apa yang bisa kulakukan untuknya? Hanya menemani dia di hari hari terakhir hidupnya.
Dia pernah menyatakan cintanya padaku. Cinta yang telah lama dipendam sejak masa kuliah  dulu.

Minggu demi minggu berlalu...aku masih menemaninya cuci darah. Kadang sepulang dari rumah sakit, kami berjalan jalan. Pergi ke sebuah pusat perkulakan, aku duduk di troly dan dia mendorongku, bergantian kami melakukannya, sambil tertawa seperti anak TK. Dia pernah memberiku sepasang kura kura pada hari ulang tahunku. Aku gembira sekali. Kura kura yang telah lama ku idam idamkan. Darimana dia tahu aku ingin kura kura? Aku tidak pernah tahu.

Bulan berganti tahun..
Kondisinya mulai menurun. Aku tetap menemaninya. Bersama berbagi headset untuk mendengarkan lagu selama proses cuci darah itu. Rambutnya mulai rontok. Kupunguti satu persatu helai yang berjatuhan di atas bantal.
Suatu hari, dia memintaku berjanji, untuk menemaninya ke Bali saat dia sembuh nanti. 
Tapi janji itu tidak pernah terpenuhi, dia tidak pernah sembuh dari sakitnya. 
14 februari, dia menelponku lama sekali, 3 jam kami berbincang tak bosan. Tiada kata pamit. Tiada firasat.
15 februari, ayahnya menelponku, mengabarkan berita duka itu. Dia sudah pergi. Selamanya. Dalam perjalanan menuju rumah sakit. Dan namaku adalah kata terakhir yang terucap dari bibirnya. Aku bahkan belum sempat mengucapkan bahwa aku juga mengasihinya dan  aku tak sanggup mengantarnya ke peristirahatan terakhir. 
Menulis ini, membuat hatiku tersayat lagi. Padahal cerita ini sudah lama berlalu.... Tapi ingatannya masih sangat jelas, seperti baru kemarin terjadi..

Engkau...
Bertahun setelah peristiwa itu terjadi. Aku kerap menerima pesan pendek di ponselku. Dari seseorang yang tidak kukenal. Tentu saja tidak kuhiraukan, walau sapaannya demikian santun. Mungkin akhirnya aku luluh dengan kegigihannya. Dan bersedia bertemu dengannya. Di suatu tempat yang sangat ramai, sangat umum. Saat pertama aku melihatnya, mataku terpaku pada sosok itu... Sosok yang mengingatkanku entah pada siapa. Kami berkenalan. Berbincang seperti dua orang teman yang sudah lama tidak bertemu. Berbicara bersahutan seolah tidak ada hari esok. 
Dan ketika aku melihatnya tertawa....kilasan ingatan itu datang... dan aku tahu.. tawanya, kehadirannya, sosoknya, mengingatkanku pada siapa.. Pada dia yang sudah tenang di alam sana.
Aku langsung terdiam. Menahan perih yang datang tiba tiba...
Persahabatan kami tidak berlangsung lama. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentang engkau.

Kamu...
Waktu terus berjalan.
Aku melihatmu setiap minggu pagi. Duduk 3 baris di depanku, selalu di bangku sama. Seolah bangku itu diperuntukkan bagimu. Tidak pernah kulihat jelas wajahmu. Karena kamu datang lebih dulu dan pulang belakangan. Sampai suatu hari kamu terlambat datang, aku punya kesempatan untuk melihat wajahmu...dan aku terperangah.. wajahmu, sangat mirip dengan wajah engkau... Ah mengapa ini terjadi lagi? Aku pikir ini hanya perasaanku saja. Sampai seorang teman kaget karena mengira kamu adalah engkau.. Barulah aku yakin, bahwa perasaanku benar.
Dia mirip engkau. Dan engkau mirip kamu. 
Kamu bagai titisan dia... 
Dan sejak itulah cerita kita dimulai, sebuah perjalanan panjang tentang cinta dan airmata.... 
Aku tidak mencintaimu karena kamu mirip dia. 
Aku hanya merasa unik sekali perjalananku sebelum bertemu dengan kamu.