Aku menyebutnya bunga ilalang.
Mereka seperti kita, berdekatan namun tidak bersentuhan.
Karena batang yang rapuh hanya diam terpaku.
Kadang angin menjadi mak comblangnya.
Semilirnya menjodohkan kita.
Dalam genggaman tangan Tuhan

Sabtu, 23 Mei 2015
Bunga ilalang
Sabtu, 27 Desember 2014
Buat kamu yang patah hati
Hujan sedari pagi,
Daun daun mandi,
Mentari lagi cuti,
Aku ngelamun sendiri....
Teringat olehku perbincangan semalam dengan seorang teman, yang sedang terluka karena pengkhianatan.
Yang paling menyakitkan dari dikhianati adalah ketika kita merasa bodoh dan buruk rupa, remeh juga tak berharga.
Lalu hari hari menjadi penuh ratap...
Berpangkal tanya, aku salah apa??
Berujung sumpah, semoga Tuhan membalas, semoga aku berkesempatan melihat Tuhan membalaskan lukaku, aku akan menunjukkan bahwa aku lebih berharga dari kekasih barunya dan sejuta sumpah lainnya...
Namun semua itu tak menyembuhkan luka menganga yang kerap berdarah.
Kadang kita menggila, marah dan dendam kesumat, membuat otak tak bisa berpikir bijak.
Ada juga yang merusak diri, sampai ingin mati, malas makan berhari-hari, atau belanja sampai dompet dan kartu tak berisi lagi.
Bisa juga malah gonta ganti pacar silih berganti, untuk membuktikan eksistensi diri.
Sementara yang lain memilih menyepi mencari ketenangan di tempat sunyi. Berbagai cara ditempuh agar bisa pulih dari sakit hati.
Lalu mulailah kau masuk ke tahap berikutnya, tanpa sadar membangun pertahanan, satu persatu batu kau susun supaya bisa membentengi hatimu dari panah cinta. Namun terkadang bentengmu harus runtuh ketika dia kembali, tak kuasa kau menolaknya tapi kau tahu rasanya tak akan pernah sama lagi...
Anggap saja itu proses, teman...
Dan setiap luka mengalami cara penyembuhan yang berbeda. Hingga akhirnya suatu saat nanti, tanpa kau sadari luka itu sudah mengering, hanya tersisa jaringan parut kulit mati. Dan saat itu, ketika kau dengar namanya, tak ada lagi yang kau rasa. Tak ada lagi luka menganga yang dulu kerap berdarah.
Rasa percaya dirimu sudah pulih jauh hari sebelumnya dan kini yang ada hanya pribadi yang lebih dewasa...
Suatu saat, ketika datang hari yang membawa ingatanmu tentang dia, kau bisa tersenyum penuh kelegaan dan bersyukur sepenuh hati atas masa lalu yang pahit namun sangat berarti.
Selamat menyongsong tahun yang baru.
Tinggalkan masa lalu, yakinlah bahwa masa depan yang baik ada dalam genggamanmu.
*Salam sayang buat kamu yang suka membaca cerita-ceritaku.
Sabtu, 20 Desember 2014
Kamis, 18 Desember 2014
Hari ini, duapuluh satu tahun yang lalu...
Tepat seminggu sebelum Natal tiba, seorang dara belia dan seorang jejaka, berikrar untuk hidup bersama.
Altar suci menjadi saksi, kisah cinta penuh romansa. Tahun berlalu, cinta berubah bentuk menjadi mahluk mahluk kecil lincah ceria . Lengkap sudah bahagia mereka.
Namun kisahnya tak berhenti sampai di situ saja. Apa yang mereka bina, tak lepas dari badai yang membuat semua jadi porak poranda.
Terkuras habis sudah tangis dan airmata. Sehingga sampailah mereka di titik untuk menyerah. Cukup di sini saja jodoh kita.
Hidup terus berjalan, mahluk mahluk kecil itu mulai meremaja, jaka tak lagi muda dan dara tak lagi jelita. Cinta berganti, menjadi kasih yang mendewasa.
Hari ini, dara melihat sepiring bakmi di meja. Dan butuh waktu sejenak baginya untuk mengingat apakah hari ini istimewa.
Ya, hari ini, duapuluh satu tahun yang lalu, dua anak manusia, berjanji setia dalam suka dan duka sampai di hari tua.
Airmatanya menitik, dalam hatinya dia berbisik,
"Selamat merayakan sejuta wajah cinta, wahai dara dan jaka... "
Senin, 17 November 2014
Kamu dan hujan
Sebenarnya aku tak ingin bahagiaku bergantung pada cuaca, entah hujan atau panas. Tapi yang terjadi, hujan memang memberiku damai yang tak kutemukan kala kemarau.
Dan hujan membawa ingatanku tentang kamu....
Tentang kita yang santai berjalan tanpa tergesa, di suatu senja saat hujan lebat mendera. Menangkup tangan di dada, seolah hendak melindungi diri dari dingin yg menerpa.
Kamu berjalanlah dulu, supaya tidak basah tubuhmu, kataku.
Kamu tertawa, dan balas berkata, aku senang berjalan bersamamu, walau itu di bawah hujan.
Tapi nanti kamu sakit, kataku lagi.
Hahahaha, tidak manisku, sama sepertimu, hujan tak akan menyakitiku, jawabmu.
Itu sepenggal cerita kita di musim hujan yang lalu. Tentang lelaki yang tidak mengajakku bergegas untuk bernaung, karena dia tahu betapa aku mencintai hujan seperti aku mencintainya.
Dan kini, musim hujan kembali. Hanya sayang, hujan datang sendiri tanpamu menyertai.
Kasih, sungguh aku akan bahagia walau hanya mendengar kabar tentangmu. Bahwa kamu baik-baik saja, sukses dalam karirmu dan menikmati musim hujan kali ini, mungkin dengan seseorangmu.
Biarlah perih yang meretas di hati, kunikmati sendiri.
Kuteruskan lagi langkah, menikmati hujan yang mulai menetes di kepala berbaur dengan airmata. Indahnya cinta dan hujan memang tak ada duanya....
#EdisiRindu
Minggu, 02 November 2014
Sebel
Entah sebel sama siapa. Mungkin sama keadaan. Rasanya sebel aja liat orang bahagia. Hahahaha yg aku maksud bukan kamu qo. Tapi khusus satu orang itu. Ya menurutku dia bahagia, entah cuma pencitraan aja atau beneran bahagia. Yg jelas dari awalnya sirik sampai akhirnya sebel. Ohya aku memang kadang sebel, tapi aku nyaris ga pernah sirik. Mungkin karena aku terlalu sibuk mensyukuri hidupku. Tapi kali ini akhirnya aku bisa merasakan rasa itu, hmm... ternyata sirik itu ga enak. Hatimu dipenuhi rasa ketidakpuasan, apa yg kamu miliki jadi tidak terlalu berarti, pikiranmu tidak jernih lagi, tidak obyektif, nalarmu tumpul, kebencian yg tidak beralasan, intinya kamu jd mendadak bego.
Kenapa bisa sampai sirik sama orang itu?
Karena aku merasa terpuruk di sini dengan sakitku, sementara dia dengan lebaynya pamer kemesraan saat plesir keliling dunia. Apa ga sirik coba?
Hahahahaha.. sewot sendiri kan tuh.
Memangnya dia siapa sih?
Hmm...dia...hmmm... dia dewa, kepandaiannya langka dan sialnya aku membutuhkan kepandaiannya itu. Dan karena dia sadar dia langka, makanya dia menganggap dirinya dewa yg tak terjangkau. Hidupnya di awang2, namanya juga dewa. Jadi manusia yang di bumi tidak terlihat olehnya. Mana mau dia susah payah turun menyelami kehidupan manusia. Cuma menuh-menuhin otaknya yg briliant dengan hal yg ga penting. Ingat, kepandaiannya langka.. tak ada tempat di hati n di otaknya untuk hal2 yg tidak berguna bagi kepandaiannya itu.
Dan sialnya lagi lagi aku masih harus berurusan dgn dia.
Karena itu akhirnya aku sebel. Entah sama siapa. Sama dia? Dia ga salah apa2 sama aku. Dia ga menyadari bahwa yg dia perbuat membuatku sebel. Hahaha..mungkin namaku juga tidak pernah tersirat dalam pikirannya.
Yawdah sih, gitu aja sebelnya jangan lama2 juga siriknya. Moga2 besok udah ga sebel lagi ya..
Selasa, 07 Oktober 2014
Ku tak ingin bertemu pagi
Ya, aku mengerti apa yang kamu rasa, jawabnya.
Hmmmm...aku berusaha menarik nafas panjang.
Bagaimana jika aku mati? Kataku menahan pedih.
Dia diam. Dibelainya rambutku.
Yang penting sekarang kamu hidup, berlakulah seperti orang yg masih hidup.
Aku takut...
Ya aku tahu, katanya seraya mengecup dahiku.
Aku ingin ditemani jika saat itu tiba.
Ya pasti, jika saja aku tahu kapan waktuNya... sayangnya aku tidak tahu. Dan bukan tak mungkin juga aku yang pergi lebih dulu? Biarlah itu menjadi rahasiaNya.
Rasanya hidup menjadi murung dan kelabu. Aku bahkan tak bisa menangis, walau dadaku penuh hingga terasa sesak... Aku sedang tak ingin dinasehati, diberi saran tentang pengobatan alternatif, dll. Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini. Dan dia mengerti itu. Dia mengerti sakitku, dia tidak takut dan tidak menghindariku, dia berusaha mencari waktu untuk bersamaku di tengah pekerjaannya yang sangat padat.
Semilir angin malam seperti berusaha menyejukkan hatiku. Dia memelukku lebih erat. Dari smartphone diputarnya sebuah lagu dan dia ikut bersenandung menyanyikan lagu itu.
Keluhkan semuanya sampai nanti terlupa
Berjanji besok tak perlu ada airmata lagi...
Tersenyumlah saat kau bisa
Yakinlah sedih akan berakhir
Karna hidup ini indah
Jika muram terasa, dengar nyanyian hati
Semua baik saja, asalkan kau percaya.
Berjanji esok tak perlu ada airmata lagi
Tersenyumlah saat kau bisa
Yakinlah sedih akan berakhir karna hidup ini indah
Tersenyumlah saat kau bisa
Yakinlah sedih akan berakhir karna hidup ini..
Bernyanyilah selagi sempat
Sabtu, 02 Agustus 2014
Dua setengah
#1 Mbah Surti
Mungkinkah kau mencintai diriku selama lamanya,
hingga maut memisahkan
Buka hanya cinta yang sesaat trus menghilang,
bila hasrat tlah usai....
Cinta memang tidak sederhana. Jalannya kadang penuh liku. Seperti cinta mbah Surti pada almarhum suaminya. Dua tahun lalu, aku kerap melihat seorang nenek yg menggendong si kakek di punggungnya. Tubuh kecil itu begitu kuat. Tak ada sirat kesal di wajahnya karena harus mengurus sang suami yg kakinya lumpuh.
Kelak aku tahu, bahwa si nenek bernama mbah Surti. Kalau mbah Surti lelah, dia akan menurunkan si kakek dr gendongannya. Dan jika mbah Surti ingin beristirahat, dia akan membaringkan kepalanya di pangkuan si kakek. Si kakek lalu menembang dan dengan lembut mengusap rambut mbah Surti sampai tertidur. Pemandangan yg langka bukan?
Lalu aku kehilangan mereka. Dan baru bertemu mbah Surti lagi beberapa minggu yang lalu. Dia tampak beda. Matanya kosong. Rambutnya kusut. Kata orang2 sejak suaminya meninggal, mbah Surti jadi linglung. Kadang ada beberapa bunga terselip di rambutnya. Katanya si kakek yg memberinya.
Mbah Surti juga suka marah-marah sekarang. Walau baru saja diberi makan, dia tetap lupa dan akan minta lagi. Selalu begitu. Nasi, kopi... baru sejenak masuk perutnya, dia sudah lupa lagi. Dan yg parah, mbah Surti sekarang merokok. Entah darimana dia mendapatkan uang untuk membeli rokok. Mungkin pemberian dari orang-orang yg kasihan padanya.
Namanya mbah Surti, nenek tua pikun yang tinggal di sudut pasar. Giginya tinggal dua seperti lagu burung kakatua. Darinya aku belajar, bahwa kadang dicintai sampai mati akan meninggalkan luka yg teramat dalam...
#2 Rambutan
Jalan soreku hari ini, ditemani hembusan angin, gemerisik daun, suara jangkrik yang mulai berbunyi, dan jalan yang sunyi, semua membawa ingatanku tentang kamu. Aku suka jalan kaki. Katamu dulu.
Dan itu yang aku lakukan sekarang. Jalan kaki setiap hari.
Tahukah kamu, jalan ini penuh dengan cerita. Akan kuceritakan salah satunya.
Suatu hari, saat aku menyusuri jalan ini, aku bertemu dengan sepasang kekasih. Mereka menyapaku dan meminta aku mendekat.
Mba.. jadilah saksi cinta kami. Kami menanam pohon rambutan ini, kami akan bergantian menyiraminya. Kami berharap saat pohon ini berbuah kelak, anak cucu kami tau bahwa ini adalah pohon cinta ayahbunda kakek nenek mereka.
Aku hanya mengangguk saja. Tak lagi terbius dengan cinta anak muda. Lihat saja jika oksitoksin kalian habis. Masihkan sanggup menghadapi kenyataan hidup yg sesungguhnya?
Bulan berlalu..awalnya aku memang sering melihat mereka bergantian menyirami pohon rambutan itu. Tapi sejak Jakarta diserang panas yg menyengat, disaat pepohonan membutuhkan air karna tanah tak lagi sanggup menyediakan, aku tidak melihat sepasang kekasih itu menyirami lagi pohon rambutan mereka. Pohon itu mulai mengering dan akhirnya mati. Suatu hari, aku bertemu dengan si wanita yg menanam pohon rambutan itu. Aku bertanya, mengapa dia tak lagi menyirami pohon cinta mereka. Mungkin aku tidak akan usil, kalau mereka tidak pernah memintaku menjadi saksi penanaman pohon cinta mereka.
Si wanita bercerita, bahwa dia sudah putus dengan kekasihnya. Karena itu mereka tidak lg mengurus pohon cinta mereka.
Hmmm...bagaimana kalau pohon itu anak mreka? Apakah akan mereka tinggalkan begitu saja ketika cinta yg sudah usai?
Cinta selalu memakan korban. Mbah Surti jadi linglung setelah ditinggal mati suaminya. Pohon rambutan jadi kering karena cinta yg sudah lewat. Dan aku? Aku jadi korban dari cintamu, atau kamu yg jadi korban dari cintaku?
Kususuri lagi jalan ini, mendung yang menggayut akhirnya pecah, menetaskan milyaran titik air yg jatuh di atas kepalaku.
Sering kudengar beberapa orang berbisik bisik di belakangku,
"Kasihan..cewe stres.. depresi.. paling sebentar lagi gila... kerjanya jalaan terus. Hujan juga jalan terus. Kadang malah senyum-senyum sendiri".
Dan mereka menjuluki aku...
Gadis yang menyusuri jalan di kala hujan.
Senin, 14 Juli 2014
stalker (prekuel secret admirer 1-4)
Memandangi rumahmu yang teduh dan asri, rimbunan kamboja kuning dan cemara angin menghiasi halamanmu, jika senja tiba lampu terasmu menyala temaram menenangkan hati, dari luar aku bisa melihat jendela kamarmu. Mungkin beberapa satpam di komplekmu sudah mengenal aku, mereka suka bertanya ada perlu apa dan darimana malam-malam. Aku hanya menjawab, pulang kerja, sengaja jalan kaki melewati komplekmu daripada lewat jalan raya. Tentu saja alasanku tepat, karena tidak sampai seratus meter dari rumahmu, ada jalan raya yang selalu macet. Tapi begitu sampai di lingkunganmu, suasana berubah 180 derajat. Hening, tak terdengar lagi deru kendaraan, teduh dengan hijau pepohonan.
Aku kadang suka mampir, duduk-duduk dengan satpam komplekmu. Berbagi rokok, berbincang tentang pekerjaan mereka, sebelum aku meneruskan langkahku melewati rumahmu.
Aku tidak berharap bertemu denganmu, karena aku tak mau kamu mengenali aku. Cukup bagiku memandangmu dari jauh saja.
Aku juga mencari tahu tentangmu dari sosial media. Status-status yang kamu bagikan, komentar-komentarmu, kicauanmu, teman-teman dekatmu, dan dari sana juga aku bisa tahu kegiatanmu.
Kamu pasti takut jika tahu ada seseorang yang mengikuti kehidupanmu, seperti aku ini. Bukan balasan cinta yang aku dapatkan, tapi mungkin kebencian atas perilaku anehku.
Tahukah Rayi, aku kerap membayangkan jika kita menikah, kamu mengandung anakku, dengan perutmu yang mulai membesar aku menemanimu berjalan-jalan tiap pagi dan sore hari. Sehingga aku tak perlu lagi berjalan jalan sendiri seperti sekarang ini.
Hari ini, hari ke 256 aku menguntitmu. Seperti biasa, menjelang tengah malam aku berjalan kaki menuju rumahmu. Lampu kamarmu biasanya sudah mati saat ini.
Kira-kira 100 meter sebelum portal komplekmu, kulihat beberapa anak muda sedang duduk-duduk, ternyata mereka mabuk. Mereka memalakku, oh..mereka tidak tahu siapa aku. Kalau aku ingin berkelahi, dengan mudah kukalahkan mereka, walau jumlah mereka lebih banyak dari aku.
Tapi aku tak sedang ingin berkelahi, aku hanya ingin lewat rumahmu.
Pemabuk-pemabuk itu membuatku kesal saat mereka mulai mencoba memukulku dengan terhuyung-huyung. Bodoh kalau aku melayani orang yang sedang mabuk. Lebih baih baik aku bergegas.
Tiba-tiba aku merasa punggungku panas dan aku jatuh tersungkur, saat kumenoleh, kulihat pemabuk-pemabuk lari sambil itu tertawa tawa. Dan dari kejauhan beberapa orang berlari menghampiriku, mereka teman-teman satpam komplekmu.
Tak kudengar lagi kata mereka, aku hanya merasa sekujur tubuhku dingin, ingin kuteriakkan namamu sebagai kata-kata terakhirku.
Rayi sayangku, aku tahu semua tentangmu, yang tidak aku tahu hanya, apakah kamu tahu bahwa aku ada.
Lalu semua menjadi gelap dalam sekejab.
*****
Tak ada yang tahu kemana hidup akan membawamu
Nikmati saja seperti dedaunan pasrah ditiup angin
Baik di saat kamu hijau, muda dan segar
Maupun di saat kamu menguning dan perlahan gugur
Dan di sinilah aku sekarang, menikmati indahnya cintaku
(Yang ingin baca kelanjutan kisah ini, silahkan buka postingan lama :)
secret admirer
Kamis, 12 Juni 2014
Kyara, gadis dari masa lalu... (episode terakhir "Titisan dan Cafe")
Hmm..ya..
Enak ya Vin.. boleh minta dikit lagi?
Kya sayang..bukan ga boleh, dikit dikit lama lama jadi banyak. Trus kalau debarmu kambuh gimana? Ingat, kopi memicu aritmia.
Vino pelit..
Ah, gadisku ini cantik sekali kalau mulai merajuk. Mulutnya cemberut lucu, mata besarnya melotot marah dan pipinya bersemu merah. Lelaki mana yang tahan untuk tidak mengecupnya?
Kupeluk dia, kuhela nafas yang terasa berat. Kuingat cerita seorang lelaki yang kukenal di pulau dewata, saat aku dan Kya sedang berlibur di sana. Lelaki itu Ari namanya. Dia bercerita bahwa dahulu dia pernah punya seorang kekasih bernama Kiara, wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Kyaraku. Namun kekasihnya tidak sungguh-sungguh nyata, dia gadis dari masa lalu. Ari bercerita dengan terperinci, tapi itu tak membuatku percaya. Mana bisa sebuah foto menjelma menjadi manusia. Dan memang aku tak harus percaya akan ceritanya. Karena Kyaraku bukan Kiaranya.
Sesungguhnya ada rasa takut di hatiku, takut jika sampai kehilangan cintaku itu. Bukan cerita Ari yang membuatku kuatir, tapi sejak peristiwa di tepi telaga itu, ada satu perasaan yang membuatku ragu pada kekasihku. Ragu akan hal yang tidak diceritakan Kyara padaku. Apalagi setelah itu, Kyara sering kali pergi ke telaga sendiri. Bahkan menginap di sana sampai berhari hari. Entah apa gerangan yang membuatnya selalu kembali dan kembali lagi ke sana. Kya tidak mau bercerita.
Yang dikatakannya hanya dia senang karena di sana tenang, hening, hijau dan sejuk.
Mengapa menatapku seperti itu?
Pertanyaan Kya memecah keheningan. Kukecup dia, sambil berbisik
"Aku tak ingin kehilanganmu..."
Kamu tak akan pernah kehilanganku, aku akan selalu ada di hatimu.
Ada perih yang menusuk di hatiku, aku memeluknya erat tapi perasaanku berkata, tak akan lama lagi aku bisa memilikinya seperti ini.
**********
Ingin rasanya aku terbang begitu mendengar kampungku nyaris tertimbun longsor. Tapi ibu melarangku datang, situasi belum aman. Masih sering terjadi longsor susulan. Para polisi hutan, petugas keamanan dan semua lelaki di desa bergantian berjaga. Terus memantau perkembangan, dan siap memberi kabar jika sewaktu waktu longsoran menimbun telaga. Hal ini jelas sangat berbahaya, karena jika air telaga tumpah, Jakarta akan dilanda banjir yang lebih besar lagi, karena telaga adalah hulu sungai Ciliwung.
Aku tidak mengerti mengapa longsor bisa terjadi. Aku melihat gunung di atas telaga adalah hutan yang sangat rimbun, tidak ada yang menebang pohon di sana, karena termasuk kawasan taman nasional yang dijaga ketat. Hasil analisa beberapa petugas menyimpulkan, bahwa penyebab longsor adalah retakan pada tanah dan hujan yang terus menerus mengguyur mengalir di sela retakan, membuat tanah tergerus dan akar-akar pohon kehilangan ikatan.
Singkat cerita, akhirnya aku kembali ke sana. Disambut hujan dan kabut tebal. Penduduk sudah kembali ke rumah masing masing. Kecemasan masih terpancar dari wajah mereka.
Aku meminta pak Dili untuk menemaniku meninjau daerah longsor. Tak kupedulikan tanah becek, berlumpur dan pacet. Kulihat pohon pohon besar yang tumbang, pohon teh yang tertimbun tanah dan beberapa aliran air baru.
Sampai tiba-tiba kakiku terpaku, sesuatu menyuruhku berhenti, kutengadahkan kepala dan kulihat sebuah pohon besar, walau tertutup kabut berdiri gagah di depanku.
Kulihat banyak mata memandangku di antara dedaunan, kutegaskan berkali kali, karena kukira itu hanya cahaya matahari yang menembus dedaunan, tapi tidak...yang kulihat memang berpasang mata. Entah mata siapa.
Pak Dili menghampiriku. Dia berkata, sapalah mereka..neng sudah melihatnya.
Aku hanya mampu menyapa dalam hati,
Hai....
Mata-mata itu tersenyum, lalu membentuk bayangan manusia manusia berjubah. Entah mengapa rasanya aku sudah lama mengenal mereka. Wajah-wajah yang tampak tak asing bagiku.
Tiba tiba angin bertiup, di balik kabut muncullah sosok seorang Ratu lengkap dengan tiara dan pakaian kebesarannya.
Suaranya lembut berkata, putriku...kembalilah....
Aku terpana, mengapa rasanya dia dekat sekali di hatiku? Tapi aku tak mengingatnya. Kedua lengannya berusaha meraihku, tapi rasa takut membuatku mundur selangkah menjauh darinya. Kakiku terjerembab dalam lumpur, saat aku hampir terjatuh tiba-tiba kulihat wajah ibu dan ayahku yang selama ini hanya ada dalam pikiranku saja. Karena aku tak pernah bertemu dengan mereka. Mereka tersenyum padaku. Dengan lembut mereka menyapaku,
Pulanglah nak..di sinilah tempatmu. Bersama kami. Tidakkah kamu lelah ratusan tahun mencari cinta sejatimu?
Lihatlah sekelilingmu. kebun teh ini... Apakah kamu mengingatnya? Sewaktu kecil kamu senang sekali bermain di sini, bersembunyi di antara pohon-pohon teh ini. Dan telaga ini, ingatkah kamu suka memancing di sini?
Banyak gambaran berkelebat di kepalaku, kepingan-kepingan puzle yang tak aku mengerti.
Ibu, siapakah aku sebenarnya?
Dia tak menjawab, dan hanya memberiku senyum yang menenangkan jiwaku.
Kemudian aku tersadar, sebuah kisah terunut jelas.
Aku adalah sang Putri yang ditinggal kekasih. Dan aku menitis pada gadis kecil yang ditinggal mati karena malaria. Aku kembali menitis melalui sebuah foto tua, dan karena cinta seorang pria, dia membebaskanku. Dan sekarang aku adalah Kyara. Gadis dari masa lalu. Apakah aku memang harus kembali? Apakah aku harus pulang?
Tak kusadari kehadiran pak Dili yang sejak tadi menemaniku. Perlahan kutarik kakiku dari benaman lumpur. Kupandangi pohon besar yang tegak didepanku, tak ada lagi bayang-bayang Sang Ratu, ibu dan ayahku.
Di kaki pohon itu, sebuah mata air baru membentuk kolam kecil berisi ikan-ikan yang entah darimana datangnya. Ikan-ikan itu mengikuti langkah kakiku, kemana aku pergi. Tempat ini begitu tenang dan aku tahu, kesinilah akhirnya aku harus pulang.
Aku bertanya pada pak Dili, apa nama pohon ini? Dengan lirih dia menjawab, kiara neng.... pohon kiara....
Seperti nama neng...
Kyaraku tak pernah kembali. Kususuli dia ke kebun teh tempat dia biasa bertapa, tapi dia tak ada. Kejelajahi tiga telaga, tempat yang Kya kerap berbagi cerita, juga tidak ada. Kutanya satu persatu orang di kampung tempat dia tinggal, tapi mereka sudah lama tak melihat Kyara. Bahkan pak Dili, hanya tertunduk, diam seribu bahasa. Kuminta bantuan para jagawana, bahkan aku meminta bantuanm Ari untuk mencari. Tapi mereka tak menemukan jejaknya. Kyara lenyap begitu saja bagai ditelan bumi.
Ketika ibu tempat Kyara menginap di kebun teh, mengembalikan barang-barang milik Kyara, sebuah foto tua terjatuh dari saku baju.
Dan aku mengerti cerita Ari benar adanya.
Itu foto Kyara kecil, Kyaraku...
Gadis dari masa lalu.