Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Sabtu, 02 Februari 2013

titik

Ting tong..
Bel rumahku berbunyi. Sesosok wajah terlihat dari balik jendela.
Hmm... ternyata Tia.
Cewek satu itu sebenarnya manis, tapi penampilannya tidak bisa rapih. Terlalu cuek. Seperti pagi ini, dia datang ke rumahku dengan kaos oblong yang sudah pantas untuk jadi lap dapur, celana piyama bersalur biru seperti yang tiap hari dipakai babah Ong di tokonya dan alas kaki yang lain sebelah (yang kiri sandal jepit, yang kanan sandal bolong bolong merk buaya, konon katanya dia perlu memakai sandal khusus jika menyetir, yang sering lupa dia tukar ketika turun dari mobil).

Raaakaaa... cepetan dong..keburu siang nih.
Sabar, jawabku sambil menyambar kunci motor dari gantungan.
Pagi ini kami mau berenang. Harus datang agak pagi sebelum kolam penuh dengan anak sekolah. Tapi musim hujan seperti ini, biasanya kolam renang sepi. Memang lebih nyaman tetap berada dibawah selimut yang hangat daripada harus kedinginan di air kolam.

Ti, hari ini kita naik motor! Kataku tegas.
Tia tidak suka naik motor, bermacam macam alasannya, berbahaya, tidak aman, tidak nyaman, pegal dan lain lain. 
Aku tidak akan ngebut, aku akan berhati hati, percaya padaku ya! kataku lembut.
Matanya menatapku memohon, untuk tidak naik motor...sebenarnya aku tidak tega juga. Aku hanya ingin membantunya menghadapi ketakutannya. 
Kupegang tangannya, kuambil kunci mobilnya, kukeluarkan tas berisi perlengkapan renang dan kupanaskan motorku.

Ayo Ti, pakai helmmu dan naiklah. Pegangan ya. Instruksiku. 
Dia naik di boncenganku, tapi tidak berpegang pada pinggangku. Biar saja, tidak mengapa kalau dia berani.
Baru aku gas sedikit motorku, kakinya reflek dengan kuat menjepit panggulku. Aku tahu dia takut.
Pegangan Ti..., kataku lagi.
Barulah tangannya dengan canggung memegang pinggangku.
Jalanan lumayan lancar karena kami  berlawanan arah dengan para komuter yang hendak berangkat kerja. Hanya tersendat sejenak di lampu merah. Saat itu kugenggam jemarinya yang tengah memeluk pinggangku. Astaga, jemarinya begitu dingin. Padahal dia sudah memakai jaket yang kupinjamkan. 
Masukkan jemarimu ke saku jaketku Ti, tanganmu dingin sekali.

Di kolam, dia menyalurkan kekesalannya padaku, yang sudah membuatnya ketakutan di jalan. Diajaknya aku berlomba, mengadu kecepatan dan ketahanan nafas. Jelas aku kalah. Dia berenang seperti ikan, cepat sekali dan tahan sejam berenang tanpa henti. Mungkin semestinya aku memeriksa apakah dia punya insang dan selaput di antara jemarinya, yang baru tumbuh jika terkena air. 
Karena kalah, aku harus menraktirnya sarapan pagi. Kami sarapan soto Madura si Cak di SPBU tidak jauh dari kolam renang. 

Renang itu salah satu cara kami menghabiskan waktu ketika cuti. Bulan lalu kami menginap beberapa hari di sebuah pulau resort. Seharian bermain air sampai kulit gosong. Atau hanya duduk duduk saja di tepi pantai.Tia teman kecilku. Sudah seperti saudara bagiku. Kunikmati tiap menit yang kuhabiskan bersama dia.
*****

Kali ini biar aku yang bercerita ya sayang. 
Aku memang tidak pandai merangkai kata seperti kamu, tidak pandai bersikap mesra (walau aku tahu itu yang kamu rindu), tidak suka berbasa basi, mungkin sikapku kasar dan terlalu keras, apalagi bagimu yang berhati selembut itu. Aku kurang perhatian, terlalu sibuk dengan pekerjaanku, tidak punya waktu untukmu. Aku tahu hubungan kita sudah sejak lama dingin. 
Maafkan aku yang tidak pandai menjaga cinta kita. Aku memang bukan Habibie, bukan Romeo, bukan Sampek, aku laki laki biasa yang kau pilih untuk mendampingi hidupmu. Dan aku bersalah karena tidak menghargai pilihanmu itu. 

Aku sadar betul, aku bukan satu satunya lelaki yang jatuh cinta padamu. 
Aku bukan anak muda yang nekad mengejar dirimu walau tahu kamu sudah bersuamikan aku. 
Aku bukan dia yang nyaman berlama lama menemanimu menikmati indahnya alam.
Aku juga bukan dia yang tetap mengingat pertemuan kecil denganmu bahkan setelah duapuluh tahun waktu berlalu.
Mengapa aku tidak menghargai apa yang kumiliki, padahal banyak lelaki di luar sana yang begitu ingin memilikimu?
Maafkan aku....

Yang bisa kutunjukkan padamu hanyalah rasa tanggungjawabku. Aku giat bekerja, untuk keluarga kita. Aku pikir itu cukup. dan pikiranku sudah penuh dengan berjuta masalah di kantor, sehingga tidak ada tempat lagi untuk memikirkan kamu dan anak anak kita.
Sampai akhirnya hari itu tiba... 

Pernahkah kamu rasakan satu hari di mana semua berwarna abu abu? Mendung, murung, buram...
Ini kelima kalinya tangan dokter itu menyayat tubuhmu, dan ini yang terlama... lima jam sudah, lampu di ruang operasi itu tidak juga menyala hijau. Sejujurnya aku sangat takut waktu itu. Takut kehilangan dirimu. Karena aku tahu, ini operasi yang paling besar, yang paling beresiko yang pernah kamu jalani.

Kamu sudah pernah menaklukan gunung, hutan, laut... 
kamu wanita yang berani, sekarang buktikan padaku bahwa kamu bisa menaklukkan penyakit itu. Tetaplah hidup, berjuanglah untukku, untuk anak anak kita... 
*****

Bullshit!! Persetan dengan semua kata katamu!! Tidakkah kamu lihat, bahwa apa Tia alami semua karenamu? Laki laki macam apa kamu? Beraninya hanya menganiaya istri!! Berapa kali tulang-tulangnya patah karena kekasaranmu? Tidakkah kamu tahu betapa Tia sangat menjaga nama baikmu? Tak seorangpun yang diberitahu apa yang diperbuat olehmu! 
Aku sudah lama menaruh curiga atas lebam dan luka luka yang dideritanya. Tapi Tia selalu mengelak untuk menjawab, beragam alasannya yang dikemukakan, dia terjatuh atau apalah. Dia tidak berani menceritakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. Entah apa alasannya. Dia bukan lagi Tia'ku yang tegar dulu. Pernikahan merubahnya menjadi wanita yang takluk pada sesuatu yang salah, tidak berani membela dirinya sendiri dan kehilangan semua kemandiriannya.

Dan dua hari lalu aku menemukan Tia tak sadarkan diri di bawah tangga di rumahnya. Kedua putri kecilnya tengah menangis seraya memeluk ibunya.
Tia tidak pernah sadarkan diri lagi sejak saat itu. Mati batang otak akibat benturan bertubi tubi. Jika saat ini dia masih bernafas, itu karena bantuan ventilator. Sampai di satu titik akhirnya keluarga memutuskan untuk mencabut semua alat yang menopang hidupnya. Sudah cukup penderitaannya. Biarlah dia kembali pada Sang Empunya hidup. 
Sementara bajingan sakit jiwa itu tetap melenggang bebas di luar sana.