Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Kamis, 23 Mei 2013

Fia...

Kulitnya putihnya, matanya bulat, seperti gadis gadis Korea yang biasa kalian lihat di televisi. Tapi Korea yang satu ini rambutnya ikal dan helainya halus seperti rambut bayi. 
Banyak teman teman memanggilnya kaka. KK. Korea kribo, walau nama sebenarnya adalah Fia. 
Saat di mana para gadis sibuk merebonding untuk meluruskan rambutnya, Fia tenang tenang saja dengan rambut ikalnya.
Kadang beberapa teman kerap menjahilinya, dengan melemparkan pulungan tisyu ke rambutnya, seperti memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Karena itu Fia selalu menguncir rambutnya agar bebas dari tangan tangan jahil. 

Fia sayang sekali pada kakaknya Fian, yang mengaku (berharap?) mirip Bruce Lee, tapi menurut Fia kakaknya lebih mirip Broco Lee, karena rambutnya seperti brokoli. Fian bekerja di sebuah tambang emas di Papua. Setiap kali Fian pulang, Fia tidak pernah minta oleh oleh selain cerita tentang kehidupan masyarakat di sana. Fian sampai bingung, adiknya ini tidak ada bosan bosannya mendengar cerita tentang tanah Papua. Jika dulu Fia hanya ingin ikut kakaknya bekerja, belakangan malah Fia mulai  ingin tinggal sana. Tentu saja naluri Fian untuk melindungi adiknya, tidak mengijinkan hal itu.

Oooo tidaak bisaaa Fiiaa..tidak biisaa..
Papua memang indah sekali. Alam perawan. Hutan lebat, hijau. Namun tidak semua tanaman bisa hidup seperti di pulau Jawa. Sehingga di sana sulit bahan makanan. Tiap daerah punya ciri khasnya masing masing. Pantainya indah, lautnya jernih, bahkan Raja Ampat kini menjadi pusat penyelaman dunia. Alamnya kaya, namun masyarakat setempat belum bisa merasakan kekayaan alam mereka.
Di sana kamu bisa melihat bintang seperti pasir di pantai. Banyak sekali. Sangat indah dipandang mata.Tapi... Papua tidak cocok untuk ditinggali anak kota sepertimu. Di sana tidak seperti di Jakarta yang serba ada. Transportasi sulit. Hanya kota besar yang punya jalan raya. Di kota kecil, jalan raya hanya jalan setapak seperti yang biasa kau lalui ketika mendaki gunung. Apalagi di desa desa pedalaman. Tidak ada listrik, sulit air, sulit bahan makanan, jika adapun harganya mahal, banyak nyamuk malaria dan keamanan sangat kurang. Kamu akan menangis melihat bagaimana mereka hidup, sangat kontras dengan gemerlap ibukota. 

Aku bosan hidup di Jakarta kak... Aku tidak ingin berlibur, aku ingin mengalami sendiri kehidupan yang berbeda dengan yang kujalani sehari hari. 

Fian berpikir keras untuk memenuhi permintaan adiknya, karena dia tahu bagaimana rasanya jenuh dengan rutinitas kehidupan, tetapi dia juga tahu jika adiknya belum siap menghadapi kehidupan yang berbeda 180 derajat. Akhirnya dia menemukan ide itu.

Fi, sebelum tinggal di Papua, coba dulu yang dekat dekat saja ya. Bertahap belajar hidup yang berbeda. Karena semua perlu penyesuaian diri. Pergilah ke rumah mamang Sarbi. Tinggallah dengan mamang dan bibi dua minggu atau seberapa lama kamu kuat. Hiduplah sesuai dengan gaya hidup mereka.

Fia senang bukan kepalang, hatinya sudah sampai di sana, bahkan sebelum ia menjejakkan kakinya di rumah mamang.
Mamang Sarbi dan bibi Iis adalah sepupu pak Kirman, supir keluarga mereka. Mereka tinggal di desa Ciherang, sebuah desa di kaki bukit, desa kecil yang tidak tercantum di dalam peta. Desa yang sejuk karena rimbunnya pepohonan dan sunyi karena jarak antara rumah berjauhan. Jalan raya masih berupa batu batu hasil gotong royong masyarakat desa. PLN belum masuk ke desa ini, karena itu warga membangun pembangkit listrik yang berasal dari turbin yang digerakkan oleh air. Karena dayanya terbatas, pembagian listrik dilakukan bergiliran dan hanya pada jam jam tertentu saja.

Mamang sendiri lebih sering memakai lampu petromaks dan lampu minyak yang kerap membuat lubang hidung cemong menghitam. Menurut mamang, keluarga yang memiliki anak anak usia sekolah lebih membutuhkan listrik untuk belajar.   
Rumah mamang besar, namun sangat sederhana, rumah semi permanen, sebagian terbuat dari batu bata yang belum diplester, sebagian lagi terbuat dari gedek, anyaman bambu. Langit langitnya tinggi, sehingga udara di dalam rumah terasa sejuk. Lantainya sebagian sudah di semen, sebagian lagi masih tanah. Rumah mamang minim perabotan, mungkin karena itu juga terasa lebih lega. Di teras rumah ada bale bale tempat mamang dan bibi leleyehan, bersantai. Di ruang tamu ada seperangkat kursi kayu yang sangat berat dan mengkilat karena sering diduduki. Kata mamang itu kursi kayu jati  buatannya sendiri. Dapurnya masih menggunakan tungku kayu bakar yang harus ditiup secara berkala. Meniup tungku membutuhkan cara khusus, jika terlalu pelan, api tidak akan membesar, tapi jika terlalu besar debu sisa pembakaran akan tersebar kemana mana dan membuat sesak nafas.

Walau sederhana, mamang punya kamar mandi di belakang rumah, sumber airnya dari sebuah sumur timba dan pancuran. Pancuran di ambil dari mata air di atas bukit yang disambungkan melalui pipa pipa bambu, namun jika ada bambu yang pecah atau rusak, diperlukan waktu cukup lama untuk mencari letak kerusakannya dan memperbaikinya. Karena itu mamang juga membuat sumur sendiri sebagai sumber air lainnya.  

Hari pertama tiba di rumah mamang, Fia harus beradaptasi tingkat dewa  soal keseimbangan. Semua di desa harus seimbang. 
Pertama, perlu keseimbangan untuk belajar naik sepeda ontel. Karena ada batangan besi yang memanjang dari sadel sampai ke setang. Ternyata bekal mahir sepeda mini saja tidak cukup untuk bisa mengendarai sepeda ontel. 
Rumusnya gowes gowes gowes, lalu sebelah kaki naik melangkahi sadel dari belakang, sebelum bruuk..jatuh... hahaha..
Karena itu jaga keseimbangan...
Sepeda ini berarti sekali kalau Fia tidak mau berjalan kaki. Karena sepeda adalah satu satunya alat transportasi di rumah mamang. Mamang tidak punya sepeda motor. Dan di desa ini ke mana mana jauh. Ke warung jauh, ke pasar jauh, ke pangkalan ojek jauh, apalagi ke kota. Jauh menurut Fia.

Pelajaran keseimbangan yang kedua adalah belajar menimba air dari sumur. Jika ember diturunkan atau dinaikan terlalu cepat, maka ember akan membentur-bentur tepian sumur, sehingga lapisan tanah berjatuhan dan air yang terangkat menjadi kotor. Jadi keseimbangan  dalam menurunkan dan menaikkan ember harus di jaga. Dan itu sulit, karena Fia tidak berani menjulurkan lehernya untuk melihat ke dalam sumur. Baginya, lubang hitam dan dalam itu seakan menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam..hiiii...ngeri... 

Pelajaran keseimbangan yang ketiga adalah buang air di kloset jongkok, yang hanya terdiri dari dua pijakan kaki dan satu lubang, karya mamang sendiri dan bukan bikinan pabrik. Rasanya tubuh Fia seperti akan terjengkang ke belakang dengan posisi aneh ini. Dia berusaha berpegangan pada tepian drum penampungan air. Bab dalam keadaan penuh konsentrasi seperti itu tentu tidak nyaman. Karena harus fokus..fokus...fokus...

Pelajaran keseimbangan yang ke empat adalah berjalan di atas pematang sawah yang licin, berlumpur dan hanya selebar 30cm. Bila terpeleset, akan jatuh ke sawah berlumpur pekat. Fia pernah kehilangan sebelah sandalnya karena terjatuh, dan ketika kakinya ditarik, sandalnya tidak ikut terbawa, hilang di dalam lumpur.
Bila itu tidak lulus, maka jangan berharap bisa menyeberangi sungai dengan batang pohon kelapa  sebagai jembatan. Tanpa pegangan, tanpa tali pengaman. Bila terjatuh, sungai jernih dengan arus lumayan deras dan batu batuan besar sudah menantinya di bawah.
Dan bila meniti batang kelapa saja tidak lulus, jangan berharap bisa meniti dua batang bambu betung yang jadi titian untuk menyeberangi selokan. Selokan di desa ini lebarnya lebih dari 2 meter! Dan selokan ini ada di mana-mana. Mau masuk rumahpun harus melewati selokan dulu. Mamang sampai menambah beberapa batang bambu betung supaya Fia mudah melewati titian bambu sambil menuntun sepeda ontel.

Tetapi pelajaran yang terpenting adalah pelajaran kelima. Keseimbangan antara alam, kehidupan dan kantong. Tidak boleh menggunakan sumber daya alam seenak-enaknya saja, pergunakan sesuaikan dengan kebutuhan. Karena jika dituruti, kebutuhan manusia tidak ada habisnya. Kalau ada yang bisa dihasilkan sendiri, ditanam sendiri, sebaiknya tidak mengambil yang tersedia, agar tidak memutus mata rantai kehidupan.
Bibi punya kebun sendiri yang menghasilkan bumbu dapur dan bahan makanan, sedikit tapi cukup untuk kebutuhan hidup sehari hari. Mau apapun tinggal petik. Itu sangat meringankan biaya hidup karena penghasilan mamang tidak seberapa.

Dua minggu di rumah mamang, justru membuat Fia tidak ingin kembali pulang....