Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Kamis, 27 September 2012

a thousand years...



Aku terbangun. Masih setengah linglung, kulihat langit langit kamar, putih.. Aku di mana? ini hari apa? jam berapa? Aku berusaha mengeliat. Tapi tubuhku seperti tak bertulang. Kualihkan pandanganku dari langit langit kamar dan aku terkejut, melihatmu duduk di tepi tempat tidur sambil memandangku dalam dalam. Kenapa dia bisa berada di sini, pikirku. Kulihat kamu tersenyum dan berkata, "kamu sudah sadar..."
Rasanya rohku belum terkumpul semua. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Aku tidak mengerti arti kalimatmu. Aku mengantuk, ingin tidur lagi. 

Aku kesal sekali, mengapa ada orang sekeras batu seperti dia. Aku benar benar jengkel. Tidakkah ia tahu, kalau wajahmu sudah seputih kertas dan jemarinya sudah sedingin es. Jangankan berjalan, melangkahpun sudah sulit, nafasnya tersengal sengal, aku tahu dia sedang sesak. Tapi dia tetap berkeras pergi untuk menemui penulis idolanya. Sudah janji, itu alasannya. Aku tidak mau mengantarnya. Tapi sifat kepala batunya itu membulatkan tekad, dengan tertatih dia berjalan. Aku tidak mau memapahnya. Kubiarkan saja dia mencoba pergi. Ingin kulihat sampai di mana keras hatinya. Tiba tiba dia terhuyung dan jatuh. Aku bahkan tidak sempat menangkap seluruh tubuhnya. Aku juga nyaris terjatuh ketika mencoba meraihnya. Dan kini tubuhnya lunglai dalam pelukku. 
Aku takut sekali, aku tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tidak ingin kehilangan dia.... 
Apa kataku tadi? Aku tidak ingin kehilangan dia?
Apa artinya? Apakah aku sudah jatuh cinta padanya? Pada mahluk kepala batu? 
Astaga... jangan sampai itu terjadi...

Aku hendak berjalan jalan di pantai. Menikmati semilir angin, uap air laut dan hangatnya mentari pagi. Dulu, berjalan di sepanjang pantai ini, sama sekali bukan masalah untukku. Tapi kini, setiap beberapa langkah, aku harus berhenti dulu, mengatur nafas baru kemudian berjalan lagi. Tujuanku jelas, batu besar itu. Tapi sebagian akal sehatku berkata, mungkin aku bisa sampai ke batu besar itu, tapi bagaimana kembalinya? Sanggupkah aku? 
Akhirnya aku terduduk lemas di atas sebatang pohon kering.  Tak mampu kutahan airmata yang bergulir jatuh. Aku harus menerima kenyataan ini. Aku tidak lagi kuat seperti dulu...

Dia ingin berjalan jalan di pantai pagi ini. Aku melihatnya sudah cukup kuat, karena dia tertidur pulas semalam. Istirahat yang cukup untuknya. Tidak untukku. Semalaman aku menjaganya, melihatnya tidur seperti bayi. Mahluk keras kepala itu, tidak tampak sama sekali. 
Kuajak dia minum teh hangat sebelum berjalan jalan, tapi dia tidak mau. Dan kubiarkan dia berjalan sementara kunikmati sececap teh manis yang menghangatkan rongga dadaku. Aku tahu, dia pasti berjalan menuju batu besar itu.  Dia pernah bercerita, berdiri di atas batu besar itu, menahan terpaan angin, dan membayangkan dirinya seperti superman yang sedang  terbang. Hmm, masa kecil kurang bahagia, sudah besar masih berfantasi seperti itu. 
Kupandangi tubuhnya yang berjalan menjauh, dia melangkah perlahan dan sesekali berhenti, menuju batu besar itu. Betapa aku ingin melangkah disisinya, merasakan kaki terbenam di pasir putih dan buih ombak membasahi. Tapi aku tahu, dia sedang ingin sendiri. Dia perlu waktu untuk mencerna dan menerima semua kenyataan ini. 
Aku sempat terkejut ketika melihatnya terduduk di atas sebuah pohon kering. Aku berlari mengejarnya. Tapi langkahku terhenti ketika kulihat dia duduk memeluk lututnya. Dia menangis. Bahunya naik turun menahan isak. Aku ingin merengkuhnya, membiarkannya menangis di dadaku. Tapi kakiku diam terpaku. Tak lama kemudian, dia mulai tenang. Dia duduk bersila, dengan posisi yoga dan mulai mengatur nafasnya. 
Kuhampiri dia, dan duduk disebelahnya. 

Itu satu dari sekian banyak fragmen kita. Terjadi bertahun tahun yang lalu. 
Aku selalu menceritakannya kembali dan berharap kamu bisa mengingat siapa aku. 
Laki laki yang sangat mencintaimu....

(Bali, betapa ingin aku kembali)