Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Jumat, 28 September 2012

Halimun



Kata katanya berbisa!! Dan aku terkena racunnya sehingga mau ikut naik gunung dengan dia. Sobatku itu, gemar sekali mendaki gunung. Kadang berhari hari tidak pulang hanya untuk mendaki. Entah apa enaknya. Lama lama aku penasaran juga ingin mencoba. Ternyata seperti ini!! 
Sudah hampir 6 jam kelompok kami berjalan. Betisku sudah hampir pecah, sekrup sekrup di kakiku sudah lepas. Walau aku tidak memanggul ransel di punggungku, tapi itu tidak mengurangi penderitaanku sedikitpun.

Tapi lihat, sobatku itu, santai saja dia berjalan, ransel di punggung tidak mengganggunya sama sekali. Langkah langkah kecilnya mantap dan penuh percaya diri. Matanya tak puas puasnya memandangi berbagai jenis pohon yang tumbuh di hutan tropis ini, sesekali langkahnya terhenti ketika beberapa jenis satwa melintas. 
Aku juga seperti itu, jika sedang menikmati baju baju di mal. Yah, kami memang berbeda, tapi itu tidak menghalangi kami untuk bersahabat.

Kabut mulai turun, membuat jarak pandang kami menjadi terbatas, padahal hari masih siang. Tak lama kemudian hujan turun. Lengkaplah sudah penderitaanku!! Jalan setapak mendaki yang kami lalui menjadi sangat yang licin. Aku menggunakan tongkat kayu untuk membantuku berjalan.  Rasanya ingin kembali pulang saja. Tidur berselimut hangat di kamarku. 
Sobatku itu, malah tertawa tawa menadahkan tangannya, dan menengadahkan kepala, lalu membuka mulutnya dan membiarkan butiran hujan terjun bebas dari langit masuk ke dalam tenggorokannya. Dasar sinting....

Untung tak lama kemudian, hujan berhenti dan teman teman mendirikan tenda. Sementara aku sibuk mencari lokasi untuk buang air kecil. Tidak ada kamar mandi di sini. Hanya ada saluran air kecil di tempat yang terbuka. Memang repot jadi perempuan. 

Kalau kukira setelah istirahat di tenda dan mengisi perut, penderitaanku berakhir, aku salah besar. Ternyata udara malam di gunung sangat dingin. Walau tenda kami terlindung dari terpaan angin, tapi suhu di kisaran 5 derajat, membuat gigiku gemeretuk. Kami menghangatkan diri di depan api unggun, yang sebenarnya tidak terlalu membantu.
Lagi lagi sobatku itu, tetap santai menikmati dinginnya malam. Telinganya dibiarkan terbuka, supaya bisa mendengar suara binatang malam dengan jelas, begitu katanya. Aku tahu, dia juga kedinginan, siapa yang tidak?

Tapi semua jerih payahku terbayar lunas, ketika akhirnya aku sampai di puncak. Negeri di awan. Amazing. Luar biasa. Tak ada kata yang mampu menggambarkan perasaanku saat melihat semburat jingga mentari pagi muncul di ufuk timur dan pucuk pucuk cemara tertutup awan. Aku hanya bisa duduk termangu dan merasa begitu kecil dalam genggaman tanganNya.  

Sekarang aku tahu, apa yang membuat sobatku itu begitu senang mendaki. Di sini, tidak ada perbedaan sosial, ras, ekonomi, pendidikan, kasta atau apapun juga. Kita semua sama. Mereka yang gemar tawuran dan dengan mudah mengambil nyawa seseorang, mungkin belum pernah mendaki gunung. Hanya merasa menjadi jagoan jagoan tak bermakna karena belum pernah melihat ciptaanNya yang luar biasa indah, yang membuat kita menyadari bahwa kita bukan apa apa. Tak pantas arogansi semu itu ada di dalam hati.

Pendakian itu, menjadi pendakian terakhir sobatku. Kini kondisinya tidak memungkinkan dia untuk mendaki lagi. Tapi aku sangat berterimakasih karena melalui dia, aku mendapat pengalaman yang sangat berarti, kesempatan untuk melihat sebuah dunia yang berbeda dan aku bisa belajar banyak hal di dalamnya. Termasuk kekasih yang sekarang mendampingiku. Hmm, yang itu bonus.