Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Kamis, 28 Maret 2013

dalam bingkai alam 3

Cerita Danny :
Aku mengenal Mayang sejak masih SMU, kami memanggilnya Ayang. Kami berkenalan di kelompok pencinta alam. Sejak itu kami jadi sering jalan bersama. Ke gunung, main basket, berenang, ke mal, main PS, memancing dan masih banyak lagi kegiatan yang kami lakukan bersama. 
Dengan dia, aku bisa tampil santai, apa adanya, tak perlu jaga image atau jaga perasaan. Karena itu aku nyaman berada di dekatnya.
Mungkin karena itu pula, tumbuh benih cinta di dalam hatiku. 
Aku memang tidak pernah menyatakannya karena aku tahu dia menganggapku hanya sebagai teman saja. Aku sendiri juga tidak berharap apa apa.

Aku sempat jalan dengan beberapa wanita, tapi hanya sekedar jalan saja. Tidak ada yang serius. Ayang tahu itu. Kadang dia juga yang mengenalkan aku pada teman teman wanitanya. Tapi sulit bagiku untuk pindah ke lain hati.

Sampai akhirnya Ayang punya kekasih. Lelaki itu, jelas bukan orang utan seperti aku. Dia baik, santun, mapan dan Ayang terlihat bahagia jika sedang bersamanya. 
Aku senang melihatnya bahagia, tapi entah mengapa ada yang sakit di sini, di hatiku. Jelas aku cemburu. Tak bisa kupungkiri, aku tak tahan melihat Ayang bersama Ryan, kekasihnya. 
Mungkin Ayang merasa aku sedikit menjauh darinya,  sebenarnya tidak, aku hanya sedang berusaha menjaga hatiku saja. 
Karena itu jika kepalaku sudah penat, aku akan mengambil cuti dan pergi sendiri. Di saat seperti itu semua saluran komunikasi kumatikan. 
Tapi sayangnya hatiku tidak punya tombol on off!
Saat ragaku berkelana, hatiku tetap di dekatnya. Apalagi setelah dia pingsan sewaktu di gunung. Itu jelas membuatku semakin sering memikirkan dia dan kesehatannya. Aku tahu ada sesuatu yang tidak dia ceritakan. Tapi aku harus berpikir realistis. Sekarang sudah ada Ryan yang menjaganya. 

Hari ini aku kembali dari perjalananku di timur Indonesia. Pesona alam perawan di sana, tak mampu mengenyahkan pikiranku tentang Ayang. Kadang ada perasaan tak enak menjalar dalam diriku, tapi aku berusaha mengabaikannya.
Setelah mendarat di ibukota, ponsel kunyalakan dan puluhan pesan singkat masuk. 
Ayang koma!! 
Separuh jiwaku terbang saat membaca pesan pesan singkat itu. Dari bandara aku langsung menuju ke rumah sakit tempat Ayang dirawat.
Ryan yang pertama kulihat di sana. Wajahnya kusut. Dia menceritakan kronologis kejadian secara singkat. 

Ryan tidak pernah tahu kalau Ayang sakit, bahkan tidak pernah mengira, Ayang menyembunyikan semuanya dari Ryan. Yah, Ayang tak pernah bercerita kalau ada kelainan pada listrik di jantungnya. Karena itu, semestinya Ayang tidak boleh diving, tekanan air yang sangat besar di bawah sana membuat jantungnya bekerja lebih keras dan tiba tiba berhenti berdetak. Dan karena harus segera ditolong, dia dinaikan ke permukaan dengan cepat dan itu memperburuk kondisinya. 
Otaknya kekurangan oksigen dalam waktu yang cukup lama, itu membuatnya koma. Dan semakin lama dia koma, akan semakin parah kemungkinan kerusakan pada otaknya. Dan ini hari ketiga Ayang koma.

Dengan jubah khusus, aku masuk ke dalam ruangan penuh monitor tempat Ayang dirawat. Dia terlihat seperti tidur, yang berbeda hanya banyak sekali selang dan kabel yang menempel di tubuhnya. Kuhampiri dia dan duduk di samping tempat tidurnya.
Kugenggam jemarinya. Dalam hati aku berdoa, jikalau bisa, ingin kutukar nyawaku dengan hidupnya. Aku tidak tega melihatnya seperti ini.
Lalu seperti film yang diputar, kisah persahabatan kami melintas di dalam benakku. Ada adegan di mana kami tertawa, aku menertawakan dia, atau dia menertawakan aku. Dan baru kusadari bahwa aku hampir tak pernah melihatnya menangis, selain saat aku minta penjelasan akan sakitnya waktu itu. 
Ada sejuta kalimat di dalam kepala yang ingin kuutarakan padanya.
Tapi akhirnya yang keluar dari mulutku hanya kalimat konyol...
Ayang, bangun dong...
Jangan tidur terus..
Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku tak sanggup meneruskan kalimatku.

******

Sepertinya aku pernah mengalami hal ini, deja vu?
Aku sedang berjalan jalan di kebun buah buahan. 
Banyak sekali buah di sini. Naluri primataku keluar. 
Mana yang mau kumakan lebih dulu? 
Ada pisang, durian, mangga, sirsak, waah aku jadi bingung. 
Ini kedua kalinya aku datang ke sini, tapi masih tak tahu ini di mana.
Kalau aku ambil buah buahan itu, apa nanti yang punya tidak marah? 
Seperti dulu, tidak ada siapa siapa di sini. Hanya aku sendiri. 
Tiba tiba aku merasa ada yang menimpuk kepalaku, kulihat kulit rambutan... 
Tapi tak ada pohon rambutan di sini. Juga tidak ada orang. 
Apakah ada monyet? Apa monyet suka rambutan? 
Aku berjalan lagi, dan kulit rambutan lagi lagi dilemparkan ke arahku. 
Lama lama semakin banyak kulit rambutan yang berjatuhan. 
Aku mulai kesal, ingin aku berteriak...
"tunjukkan dirimu kalau berani!!"
Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. 
Sayup sayup terdengar suara memanggilku...
Ayang, bangun dong...
Jangan tidur terus..