Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Minggu, 01 Desember 2013

hasrat...

Sudah dua minggu aku menyepi di rumah kayu ini. Paska operasi penanaman alat rekam jantung itu, aku ingin lepas sejenak dari hiruk pikuknya ibukota. Dan sore ini, kudengar suara batu berderak terlindas roda mobil. Ada yang datang mengunjungiku. 
Ah, akhirnya dia pulang juga. Setengah berlari kuhampiri tubuh menjulang itu. Betapa aku sangat merindukannya. 
Jangan lari, katanya dari jauh, langkahnya yang panjang mendekat dengan cepat.
Kuatur nafas, kuharap dia memelukku. Tapi dia tidak melakukannya, dia hanya memegang bahuku dan menatap mataku dalam dalam. 
Kamu sudah lebih baik? tanyanya.
Tak kujawab pertanyaannya. Jelas aku baik-baik saja, kalau aku masih sakit mana bisa seperti ini. Hatiku kesal karena sambutannya tidak seperti yang kuharapkan. Dan ternyata dia cukup peka untuk merasakan kekesalanku.
Qo diam saja? Tadi bilangnya kangen? katanya menggodaku.
Mataku memanas.. jangan nangis..jangan sekarang...
Lhoo qo malah nangis, katanya seraya memelukku dengan sangat hati hati. Ah... dada bidang ini, tak tahukah dia kalau setiap malam aku memimpikannya?
Sakitkah kalau aku memelukmu seperti ini? katanya cemas.
Oh, ternyata dia takut melukaiku. Aku balas memeluknya lebih erat sebagai jawaban.
Dia membimbingku masuk dan duduk sofa.
Aku buatkan minum ya, kamu ingin minum apa? tanyaku.
Dia menggeleng. Dikecupnya keningku lembut, dihirupnya aroma rambutku. 
Maaf, aku tak bisa menjagamu waktu itu, bisiknya di telingaku. 
Kusandarkan kepalaku di dadanya. Bisa kudengar degup jantungnya. Perlahan tangannya meraba dadaku, di mana letak alat itu? tanyanya. Kupegang jemarinya dan kuarahkan ke tempat benda itu ditanam, dengan perlahan dirabanya benda asing yang berada di payudara kiriku itu. Jemarinya terpaku di sana. Dia terdiam. Wajahnya mendadak berselimut mendung.
Aku tidak apa apa, ini tidak sesakit apa yang kamu bayangkan. Hanya seperti ada "Beng Beng atau wafer superman" yang tertanam di payudara, kataku mencoba menenangkannya.
Dia menarik nafas panjang. Dikecupnya bibirku lembut. Ada yang bergejolak dalam tubuhku, perasaan yang meletup letup. 
Apa masih boleh bercinta? tanyanya serius.
Kutatap matanya dengan pandangan penuh cinta. Ya, aku sangat menginginkannya, jawabku dalam hati. Tapi dia tak melanjutkannya, kedua lengannya hanya memelukku.

******

Beberapa hari berlalu, tak ada yang terjadi di antara kami. Dia tetap manis, hanya saja tak pernah lagi menyentuhku. 
Sayang, aku ingin bicara. Aku tak ingin kita begini terus. Sungguh, aku tidak apa-apa, kita masih muda, penuh gairah, aku mencintaimu dan hasratku untuk bercinta denganmu selalu menggebu. Tidakkah kamu mengerti itu? Jangan perlakukan aku seperti kristal yang rapuh, yang akan pecah berkeping keping jika kamu menyentuhnya. Atau jangan-jangan kamu memang tidak menginginkanku lagi? 
Ada perih yang tiba-tiba menusuk di hatiku. Aku tak melanjutkan kalimatku.
Dia menatapku. "Terus? Kenapa berhenti? Cape ya? Ngomong aja sesak, masih mau bercinta?", katanya sambil tertawa.
Diambilnya masker oksigen, dipasangkan ke wajahku lalu dinyalakannya regulator. Diaturnya bantal yang menyangga tubuhku. Dicarinya remote alatku, didekatkannya remote itu ke dadaku dan ditekannya tombol remote sebagai penanda sakitku.
Aku benar-benar marah pada diriku sendiri. Kenapa terlalu emosi, sudah tahu itu memicu aritmiaku. Sekarang aku sendiri yang rugi, bercinta tidak jadi malah sesak yang kudapat, dasar manusia bodoh.

Aku tak pandai bicara, aku tidak romantis, kamu tahu itu. Tapi aku mencintaimu, aku menginginkanmu dan karena itu aku akan menjagamu, aku ingin kamu sehat, lebih dari apapun. Jangan racuni pikiranmu dengan asumsi negatif yang hanya membuat hatimu terluka. Sekarang tenanglah dan atur nafasmu. Oke?
Dia duduk di tepi tempat tidur sambil memegang nadi di pergelangan tanganku.
Persis seperti yang dia pernah dia lakukan dulu dan itu membawa kenanganku kembali ke masa lalu...

******

Malam mulai dingin, tapi dia masih tertawa tawa dengan celana pendeknya. Sementara bajuku sudah seperti orang kutub. 
Aku bertanya, apa kamu tidak kedinginan? 
Ya dingin...katanya sambil menyalakan lilin! Ya lilin! Dua lilin kecil, bukan api unggun. Lilin itu melengkapi makan malam kami. 
Ya kami sedang menikmati makan malam di ketinggian 2500 mdpl.
Makan malam dengan menu mie cup seduhan tanganmu, susu kotak dingin, diterangi cahaya dua lilin dan ribuan bintang yang bertebaran di kelamnya malam. 
Apa kalian pernah menikmati makan malam seindah dan seromantis ini?

Ketika malam semakin dingin, dia mengajakku masuk ke dalam tenda. Kami masuk dalam kantong tidur masing masing, tapi tubuhku tak berhenti menggigil.
I can't feel my finger, kataku dengan suara bergetar. 
Jemariku mati rasa, entah kebas atau kedingingan aku tak dapat membedakannya lagi. Dia menangkupkan kedua tangannya, menggosok dan meremas jemari tanganku, meniup tanganku lalu membawanya ke dadanya. 
Aku meringkuk dalam pelukan hangatnya.
Lalu dia menggosokkan hidungnya di kepalaku, dan sambil tertawa dia bertanya...
Apa aja yang kamu pakai di kepala? Ada berapa lapisan?
Tentu saja dia tahu, kupluk dan kapucong membantu telingaku agar tetap hangat, walau karena itu dia jadi tak bisa mencium aroma rambutku.

******

Aku ingat pertama kali dia menyentuhku, dadanya berdegup kencang. Dengan kikuk dikecupnya bibirku perlahan sementara tangannya membelai rambutku.
Diriku seperti gunung berapi yang hendak meletus, penuh gejolak dan hasrat yang tak bisa lagi kubendung, mungkin dia juga merasakan hal yang sama. Ketika jemarinya menyusuri seluruh lekuk tubuhku dan bibirnya menciumi kulit lembutku, tak ada lagi yang mampu membuatku bertahan. Kuserahkan diriku utuh penuh, kureguk indahnya cinta, kunikmati keperkasaannya sebelum akhirnya kami rebah.

Tiba-tiba dia berkata, mengapa lenganmu dingin sekali? 
Dia memegang pergelangan tanganku, nadimu cepat sekali... lanjutnya dengan mimik kuatir.
Aku tak mampu menjawab pertanyaannya, dadaku berdentam dentam, jantungku seperti mau meledak dan nafasku sesak.
Dia membongkar tasku, mengambil kaleng oxycan dan memasangkannya di wajahku untuk mengurangi sesakku. Setelah aku bisa bernafas dengan teratur, dilepaskannya oxycan, dia menyelimuti tubuhku lalu menemani sampai aku tertidur.

******

Itu pertama kali aku bercinta dengannya. Aku tahu, betapapun aku menginginkannya, dia akan berpikir sejuta kali untuk melakukannya lagi denganku. Kuhela nafas panjang, perlahan kuraba benda yang tertanam di dadaku lalu kupandangi tubuh yang sedang tertidur pulas di sebelahku, tubuh bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek saja. Entah sampai kapan hasrat ini mampu kutahan....