Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Kamis, 11 Oktober 2012

Cintaku jauh di pulau (dua)




Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh - oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

(Chairil Anwar,1946)

Cintaku jauh di pulau, gadis manis sekarang iseng sendiri...
Itu aku.
Hari terus berjalan, aku disibukkan dengan rutinitas harianku. Hubunganku dengan Yudhis bertambah dekat. Tapi tanpa percikan api asmara lagi. Hatiku mulai tenang. Yah, sejujurnya kadang masih terpukau juga.  Hanya sadar diri, tidak punya kans untuk menang. Dan bersahabat seperti ini mungkin lebih menyenangkan.
Aku tidak pernah menceritakan pada siapapun, termasuk Astrid, tentang pengakuan Yudhis waktu itu.  Biarlah kalau kelak mereka tahu, itu berasal dari Yudhis sendiri. 

Yudhis mengajariku memotret. Kami jadi sering pergi bersama untuk mencari obyek foto kami. Aku lebih suka memotret obyek yang diam, tak bergerak. Aku tidak cukup sabar menunggu moment. Mungkin memang tidak bakat menjadi fotografer. 
Sementara Yudhis bisa tahan berjam jam menunggu moment dan mencari sudut bagus untuk mengambil gambar. Kadang itu berada di posisi yang sulit dijangkau, riskan dan membahayakan.

Seperti hari ini, Yudhis berusaha mengambil gambar sarang burung yang isinya 3 ekor anak burung yang baru menetas. Bulunya masih basah dan mereka menciap ciap meminta makan. Persis seperti yang aku lihat di film kartun. Tapi kali ini nyata. Ada di depan mata. Yudhis hendak mendekati  sarang burung itu, dia memanjat sebuah dahan, dia mahir memanjat. Masalahnya, pohon itu terletak nyaris di bibir jurang, dan tiba tiba kulihat seekor burung besar terbang mendekat, aku memekik kaget dan entah bagaimana kejadiannya tiba tiba Yudhis terjatuh, tubuhnya tergelincir dan nyaris masuk ke dalam jurang, tepat ketika sebelah tangannya meraih sebatang tunggul pohon kering. Separuh nyawaku terbang. Reflek kuulurkan tanganku pada Yudhis yang tengah bergelantungan. Dengan tetap tenang Yudhis berkata, 
"Kamu tidak akan kuat menahanku beb, peluklah pohon itu dan julurkan kakimu". 
Kuturuti perintahnya, dengan kedua tangan aku memeluk batang pohon tempat sarang burung itu berada dan kujulurkan sebelah kakiku ke arahnya. Dia menggapai, meraih memegang sebelah kakiku dan perlahan merayap naik. 
Sesampainya dia di atas, aku langsung memeluknya dan tangisku pecah di dadanya. Aku begitu takut, seluruh tubuhku gemetar. Yudhis memelukku erat, sampai bisa kudengar debar jantungnya.
 Dia berusaha menenangkan aku, 
"Aku tidak apa apa beb... aku tidak apa apa" 
Tapi tangisku tak juga reda. 
Dibelainya rambutku, perlahan dia melonggarkan pelukannya, dipegangnya daguku sambil menatap wajahku dan perlahan dia mengecup lembut keningku.
"Aku tidak akan membuatmu menangis lagi beb, aku janji!"

Tulang kering kaki kirinya retak karena kejadian itu. Kakinya harus digips. Aku menjaganya di rumah sakit, bergantian dengan Elmo dan Astrid. Orangtua Yudhis sudah lama menetap di Belanda. Adiknya tinggal di Canada. Di sini hanya ada eyangnya yang menetap di Solo. 
Aku suka membuat grafiti di gipsnya, kugambari sebuah cerita tentang tokoh Yudhistira versi wayang modern. Gambar itu membuat teman teman yang membezuknya bertanya tanya, siapa perupa'nya. Yudhis mengenalkan aku pada teman temannya. 
"Gadis iseng yang menangis seperti bayi lapar ketika aku jatuh...." 
katanya dengan mata jenaka sambil melirikku. Aku pura pura tidak mendengarnya.

Hari ini Yudhis boleh pulang, dia kembali ke apartemennya. Elmo tinggal di sana malam ini. Aku pulang bersama Astrid. Sudah lama kami tidak berbincang bincang berdua saja. Di perjalanan Astrid bertanya, 
"Beb, Yudhis udah nembak belum?"
"Hah? Ya ga lah. Yudhis sudah punya pacar tau." jawabku.
"Pacar? Di mana? Siapa namanya? Qo cerita Elmo berbeda? Memang kamu pernah ketemu dia beb?" Astrid memberondongku dengan pertanyaan.

Aku terdiam. Ya, aku baru sadar, kalau aku tidak pernah menanyakan namanya, tidak pernah bertanya di mana dia, aku juga tidak pernah melihat Yudhis menelponnya saat sedang bersamaku, walau itu  bisa berhari hari lamanya. Tidak pernah melihatnya mencuri curi waktu untuk membuat pesan singkat atau menerima telepon. Kami tidak pernah membicarakan soal 'kekasih' lagi setelah malam terakhir di pulau itu.

"Beb... Yudhis itu sayang kamu. Elmo yang bilang padaku. Yudhis pernah mengatakannya. Tapi mungkin masih menunggu waktu yang tepat  untuk mengatakannya. Aku pikir malah kalian sudah jadian. Kalian dekat sekali." 

Aku terkejut mendengar perkataan Astrid. Tidak mungkin Yudhis menyukaiku. Akhirnya pertahananku jebol juga. Dengan hati hati aku berusaha memilih kalimat yang tepat.

"Trid, apa kamu dan Elmo benar benar tidak tau? Yudhis itu gay."

Kutunggu reaksi Astrid, dia tertegun, aku sudah menduganya, dia pasti tidak menyangka. 
Tapi tiba tiba dia tertawa terbahak bahak, sampai keluar air mata, dan memegangi perut. 

"Whahahahaha, kata siapa beb?...kata Yudhis? dia bilang gitu? whahahaha... itu bisa jadi keajaiban dunia kesepuluh beb... Dia normal beb..dan dia jatuh cinta padamu..whahaha..Yudhis gay? whahahaha..."

Aku terdiam. Jadi selama ini, dia sudah membohongiku? Apa maksudnya? Kenapa? Mengapa dia mempermainkan perasaanku. Dan dengan tolol aku percaya begitu saja kata katanya. Dadaku tiba tiba sesak penuh amarah.
Astrid terdiam ketika melihatku tidak ikut tertawa.

"Beb...maaf ya beb.. Aku tidak bermaksud menggodamu."
"Tidak apa Trid, aku tidak marah padamu. Beri aku waktu ya?"

Setelah aku mengantar Astrid, aku kendarai mobilku tak tentu arah sampai aku tiba di pinggir kota, kutepikan mobil dan menangis sepuasnya. Sungguh tidak menyangka semua ini bisa terjadi. Teganya Yudhis membohongiku. 
Tak tahukah dia semua yang aku rasa? Rindu, sedih, cinta, kuatir, semua hanya untuk dia. Dia sia siakan hanya untuk sebuah kebohongan? Apa maksudnya? Aku hanya ingin menjadi temannya. Itu cukup untukku. tapi tolong jangan bohongi aku. Kebohongan yang mengubah duniaku.

Sejak saat itu, kutahan diriku untuk tidak menghubungi Yudhis. Walau aku ingin tahu bagaimana kondisinya. Berkali kali Yudhis, Astrid bahkan Elmo, menelponku, mengirim pesan pendek untukku, mengajak bertemu untuk membicarakan semua. Aku tidak meresponnya. Please, aku butuh waktu.

Dan ini sms terakhir yang kuterima dari Yudhis, sebelum aku mengganti nomor ponselku. 
"Beb, aku tahu aku salah. Aku juga tahu permohonan maafku tidak akan mampu mengobati semua luka yang sudah kutorehkan di hatimu. Aku pernah berjanji tak akan membuatmu menangis lagi dan aku tak bisa menepati janji itu. Ijinkan aku menebus semua salahku beb..."

Aku tidak membalasnya. Aku ingin melupakan dia. Ingin kukubur dalam dalam semua cerita ini. Aku tahu pasti ada penjelasan dibalik semua ini. Tapi hatiku terlalu terluka untuk mau mengetahuinya. Toh penjelasannya tidak mengubah apa yang sudah terjadi. Faktanya hanya satu, dia sudah membohongiku. Perlahan kututup pintu hatiku untuknya dan kukunci rapat rapat. Kuharap waktu akan menyembuhkan semua luka.


 Dan sekarang, di sinilah aku berada, di atas sebuah yacht, yang diberi nama Blue Dolphin. Di tengah laut biru dengan langit yang cerah.. 
Namun tak ada lagi dia yang sibuk mempersiapkan alat pancingnya........