Dalam genggaman tangan Tuhan

Dalam genggaman tangan Tuhan

Selasa, 16 Oktober 2012

Cintaku jauh di pulau (tiga)

Enam bulan sudah berlalu. Hubunganku dan Astrid baik baik saja, selama tidak membahas tentang Yudhis. Suatu hari, Astrid mengajakku bermalam di villanya. Kami berangkat berdua saja. 
Villa kayu di tepi kebun teh ini sangat nyaman, kuharap suatu hari nanti aku juga  bisa memiliki villaku sendiri. Suasananya tenang, udaranya sejuk. Sejauh mata memandang hanya hamparan hijau pohon teh. Kadang monyet monyet hutan suka turun sampai ke sini. Berada di sini seperti terlempar tiba tiba ke dimensi berbeda. Dari hiruk pikuknya kota, mendadak senyap yang ada.

Menjelang sore, Astrid mengajakku duduk di beranda. 
"Beb, aku mau bicara. Tentang Yudhis. Please, dengarkan saja. Jangan lari lagi. Ini sangat melelahkan untukmu kan?"
Dan Astrid mulai bercerita tentang mengapa Yudhis sampai tega 'membohongi'ku. 

Yudhis pemuda blasteran Jawa Belanda (itu kenapa dia tampan sekali) Ibunya berasal dari keluarga yang sangat ketat menjaga budaya. Masih berdarah biru. Tapi ibunya memilih untuk menjalani pilihan hidupnya sendiri, menikah dengan laki laki berkewarganegaraan asing, bangsa yang pernah menjajah tanah leluhurnya sendiri. Karena itu orangtuanya tidak pernah merestui pernikahan mereka. Mereka menganggap ibu Yudhis sudah mempermalukan keluarga sehingga akhirnya mereka memutuskan hubungan. 
Ibu Yudhis pergi meninggalkan Indonesia dan tinggal di Belanda. Yudhis besar di sana, tapi orangtuanya sering mengajak Yudhis ke Indonesia. Memperkenalkan tanah airnya, keindahannya dan kekayaan alamnya.
Yudhis mempunyai seorang adik perempuan. Cantik. Kakinya cacat. Tungkainya mengecil karena polio yang terlambat diketahui. Dia wanita yang cerdas dan mandiri. Cacat kaki tidak jadi penghalang baginya untuk meraih cita dan cinta. Dan dia memilih seseorang yang bisa menerimanya dengan segala kekurangannya, pilihannya jatuh pada seorang 'wanita', setelah beberapa lelaki mematahkan hatinya.
Tentu saja pilihan ini mengejutkan ibunya. Ibunya berpikir, ini adalah balasan atas apa yang pernah diperbuatnya dulu terhadap kedua orangtuanya. Ibu Yudhis mengalami depresi berat ketika adik Yudhis memilih untuk pergi dan tinggal di Canada bersama kekasihnya. 
Waktu berlalu. Manusia berubah. Menjadi semakin matang dan semakin bijak. Keadaan ibu Yudhis mulai membaik, mulai bisa menerima semua kenyataan yang ada. Bahkan mulai menjalin hubungan lagi dengan keluarga di Solo. 
Tapi buat Yudhis, hal ini sangat membekas di hatinya. Bagaimana sulitnya manusia untuk menerima sesuatu yang berbeda. Bahkan sampai bisa merusak hubungan darah sekalipun. 

Karena itu Yudhis mulai mencari jati dirinya. Sebagai fotografer tidak ada moment yang sama, yang dibidiknya sampai dua kali. Semua berbeda. Karena itu juga Yudhis berkeliling dunia, tidak hanya untuk mencari obyek dari fotonya. Tetapi juga untuk bertemu dengan banyak orang dengan budaya, bahasa dan norma yang berbeda beda.  
Sesuatu bisa menjadi peraturan di satu tempat, tapi tidak di tempat lain. Sebuah budaya bisa bertolak belakang dengan budaya lain. Jika hanya karena perbedaan cara pandang, mengapa harus membenci, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah.

Karena itulah Yudhis sangat menginginkan kekasih yang mempunyai pikiran terbuka. Dan cintanya jatuh pada seorang gadis dari negerinya sendiri. Cinta pada pandangan pertama. Tapi hatinya ragu, karena gadis itu terlihat masih begitu muda, gayanya kekanakan dan iseng setengah mati. Dan karena ingin segera mengetahui bagaimana cara pandang gadis itu terhadap sesuatu yang berbeda, tanpa pikir panjang, kebohongan itu spontan terlontar begitu saja. Kebohongan yang ia sesali seumur hidupnya. 
Karena nyatanya, kemudaan gadis itu berbanding terbalik dengan kematangan pola pikirnya. Dan panah cinta yang sudah tertancap begitu dalam, tidak mudah dicabut begitu saja tanpa mengoyak hati. 

Astrid menghela nafas panjang dan menyudahi kisahnya. 
Aku termenung. Aku tahu pasti ada penjelasannya. Tapi tidak menyangka seperti ini kisahnya. Aku merasa diriku sangat arogan, angkuh, jahat dan tak punya maaf. Yudhis sudah berkali kali meminta maaf, tapi aku tidak menggubrisnya. Malah asik sendiri meratapi nasib. 
Siapakah aku sampai tidak bisa memberi maaf? 
Bukankah aku juga sering melakukan kesalahan, tapi Tuhan Sang Maha selalu punya maaf untukku. 
Bukankah aku pernah berkata padanya, bahwa aku bukan hakim, aku tidak punya kapasitas untuk menilai dia. Tapi lihatlah perbuatanku sekarang!! Tak kuingat sebuah firman..

"Siapa yang tidak pernah berbuat salah, bolehlah ia mengambil batu, dan melemparkannya pada pendosa itu...."

Airmataku bergulir jatuh. Berapa lama aku kehilangan diriku yang pemaaf, dan penuh kasih sayang. Aku bagai orang asing di atas keangkuhanku sendiri.
Astrid memelukku lalu berkata,
"Beb, lusa Yudhis akan berangkat ke New Zealand. Untuk waktu yang cukup lama. Tidakkah kamu ingin menemuinya? Sebagai seorang teman mungkin? 
Aku berusaha tersenyum, namun pedih yang kurasa. 
"Aku tidak pantas untuknya Trid. Aku bukan gadis yang berpikiran luas seperti yang dia inginkan. Aku bahkan tidak bisa memaafkan karena pikiranku picik dan sempit..."




** sepuluh tahun kemudian **

Tak terasa masa muda berlalu sudah. 
Astrid sudah menikah dengan Elmo, mereka sudah memiliki seorang putri. Raya, 5 tahun sudah usianya.  
Yudhis? Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Aku tidak menemuinya ketika dia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Ketika belakangan ini marak  berkembang berbagai jejaring sosial, aku sempat melihat foto Yudhis yang di tag Elmo di salah satu albumnya, dia sedang mengendong seorang anak perempuan kecil, mungkin baru 2 atau 3 tahun usianya. Aku turut berbahagia melihatnya. Tulus....

Dan aku? Orangtuaku mewariskan anak tunggalnya ini, sejumlah uang yang aku pakai untuk membeli sebuah kabin kayu di tepi kebun teh. Aku tinggal di sini sekarang. Udaranya yang sejuk baik untuk kesehatanku. Suasananya tenang. Aku tinggal sendiri. Tidak ada laki laki lain yang singgah di hatiku setelah kepergian Yudhis. 
Apalagi setelah dokter menyatakan bahwa ada kelainan pada jantungku dan itu akan menjadi penyulit kalau aku hamil. Aku memutuskan untuk hidup sendiri, supaya tidak jadi beban bagi pasanganku dan keluarganya.
Karena kondisiku tidak terlalu baik, maka kuputuskan untuk meninggalkan kota dan hiruk pikuknya. Kutinggalkan pekerjaan dan rutinitasku dulu. Sesekali aku masih "turun gunung" untuk memberi training. Aktifitasku sehari hari, adalah menulis, melukis, berkebun dan menyalurkan ke'iseng'anku (teteup) dengan mengajar dan bermain dengan anak anak pemetik teh yang tinggal tak jauh dari kabinku.

Suatu hari rumahku kedatangan tamu. Astrid datang!! Ah betapa aku rindu padanya dan putri kecilnya, Raya. Pada celotehannya yang tak henti henti. Tapi ternyata Astrid tidak datang bersama Raya. 
Dia datang bersama...... Yudhis.....!!
Dia masih setampan dulu. Senyumnya, cara berjalannya, masih seperti dulu. 
Aku sibuk menenangkan degup jantungku. 
Tenang beb..tenang.. Ingat sakitmu. 
Kucoba menarik nafas panjang, namun tak berhasil. 
Astrid dengan santai berkata, 
"Beb, sorry ya, Raya dan Elmo tidak bisa ikut ke sini, aku juga hanya bisa mampir sebentar, cuma mau men'drop Yudhis saja!"
Astrid langsung pergi meninggalkan aku dan Yudhis.

Aku tidak tahu harus memulai pembicaraan darimana. Aku masih merasa canggung dengan orang yang pernah dekat sekali dengan hatiku dulu. Aku merasa ada kupu kupu beterbangan di perutku. 
"Apa kabar beb?"
Yudhis memulai percakapan lebih dulu.
"Baik... bagaimana denganmu? Masih memotret? Kapan tiba di Indonesia?"
"Hahaha, beb.. kamu masih seperti dulu ya? Selalu memintaku untuk bercerita lebih dulu."
Astaga, kepo sekali aku ini. Malu rasanya. Mau kusembunyikan di mana wajahku.
"Beb, kali ini aku ingin mendengar ceritamu lebih dulu. Bagaimana kondisimu?"
Mungkin Astrid sudah menceritakan tentang kesehatanku padanya. Sebenarnya, aku ingin bercerita sekilas saja, tapi tatapan matanya, yang begitu serius mendengar kisahku, membuatku ceritaku mengalir panjang lebar. Semua tumpah begitu saja. 
Aku baru berhenti ketika menyadari bahwa nafasku mulai sesak karena terlalu banyak bicara. 
Yudhis meraih jemariku dan menggenggamnya. Lama. 
"Gadis iseng yang suka menangis seperti bayi lapar" ini, mulai menitikkan air mata lagi.
Lembut Yudhis menarikku dalam pelukannya. 
Sejenak aku terlena. 
Aku ingin waktu berhenti saat ini. 
Tidak ada masa lalu dan tidak perlu ada hari esok. 
Tapi tombol 'pause' tidak ada dalam hidup. Berkelebat dalam ingatanku, foto Yudhis yang sedang menggendong seorang anak perempuan kecil. Dia bukan milikmu beb.. 
Kulepaskan pelukannya.

"Yud, sekarang giliranmu bercerita...Jangan buat aku menunggu lagi. 
Yudhis mulai bercerita tentang kegiatannya sepuluh tahun terakhir ini. Masih memotret, masih berkeliling dunia, dan mulai berpikir untuk menetap di suatu tempat.
"Bagaimana keluargamu?" tanyaku lagi.
"Orangtuaku masih di Belanda. Adikku masih di Canada. Aku sering mengunjungi mereka. Eyangku sudah tidak ada."
"Bagaimana dengan istri dan putri kecilmu?"lanjutku.
"Istri? Anak? Yudhis terdiam sejenak.
"Aku bahkan belum jatuh cinta lagi sejak sepuluh tahun yang lalu..." lanjutnya heran.
"Lalu, siapa anak perempuan kecil yang kamu gendong itu? Yang kulihat di album foto Elmo?" tanyaku sudah terlanjur malu.
Yudhis terdiam sejenak, dahinya berkerut berusaha mengingat. Dan tiba tiba dia menarikku lagi dalam pelukannya. Aku meronta. Tapi dia mendekapku erat. Dia berbisik di telingaku.

"Jangan hindari aku lagi beb. Satu dasawarsa sudah kita menunggu, tidak cukupkah itu mendewasakan dan menguji cinta kita? Bukti apa lagi yang masih kita perlukan? Aku belum menikah beb, yang kugendong itu keponakanku, anaknya Laras adikku. Yaa, singkatnya Laras putus dengan kekasih wanitanya dulu. Lalu menemukan cinta sejatinya pada Richard. Mereka menikah dan sudah memiliki seorang putri sekarang, Tiara namanya. 
Yudhis terdiam sejenak...
Beb, maukah kamu menemaniku menjalani hari tua kita bersama? Aku akan menjaga dan merawat sakitmu. Jangan pikirkan soal anak, kita bisa adopsi jika kamu mau. Banyak anak anak terlantar di luar sana yang membutuhkan kasih sayang. Orangtuaku tidak menuntut apa apa padaku. Mereka hanya ingin aku berbahagia dengan orang yang aku cinta. Dan itu kamu."
Yudhis mengecup keningku lembut. 

Pernahkah kalian melihat senja seindah ini? 
Lembayung jingga, angin sepoi sepoi, suasana hening begitu damai dan kekasih hati yang memelukku, terjawab sudah semua penantianku selama ini.  
   
Dan sekarang, di sinilah aku berada, di sebuah kabin kayu, yang diberi nama Rumah Cinta. Di kaki gunung, di tepi kebun teh, ditemani belahan jiwaku tercinta...Yudhistira..

The end